Tiga tahun lalu kami bertandang ke rumah seorang sesepuh yang kebetulan memiliki peran di Disihutbun (Dinas Kehutanan dan Perkebunan). Acaranya ya, ngopi saja, sambil ngobrol diseratai guyonan-guyonan cair. Topik yang lebih sering dibicaraan seperti biasa, soal hutan dan kebudayaan. Berbicara keduanya selalu muncul rasa prihatin dalam batin. Terutama soal kehutanan, di mana dari lingkup kabupaten Tulubgagung ini yang hutannya tidak gundul?
Salah satu yang menarik dari obrolan itu adalah cletukan yang muncul dari ibu tuan rumah, “Bukankah melestarikan hutan itu termasuk ‘hablum minal alam’?”. Mendengar itu saya tertegun dan mencoba mencerna kata-kata itu; sepertinya tidak asing, tapi ada yang baru. Setelah beberapa detik saya baru ingat bahwa kata-kata itu mirip dengan ‘hablun minallah’ dan ‘hablun minannas’. Setelah itu saya langsung tertawa meskipun sedikit terlambat. Saya tertawa bukan bermaksud mengejek, tetapi memang ada unsur ‘joke’ disitu. Tidak terbayangkan, seorabg Hindu mengucapkan ungkapan Arab yang itu saya sendiri jarang mendengar, dan apa bila direnungi memiliki makna yang mendalam.
Dalam kajian Islam–yang saya ketahui–, lebih sering muncul dua jenis hablun, yaitu hablun minallah (Hubungan dengan Allah)dan hablun minan nas (hubungan dengan manusia). Sedangkan hablun minal alam (hubungan dengan alam), memang tidak populer. Ketidak poluleran ini semakin terasa bila berusaha merujuk-rujuk pada kajian Islam klasik.
Dalam sejarah, tentang alam dan pelestariannya mulai serius dikaji di Indonesia baru tahun 1960. Kajian-kajian itu berkembang dalam fiqih yang kemudian disebut Fiqhul bi’ah (Fiqih lingkungan). Pada tahun 2004 Para Ulama pesantren Indonesia juga baru berusaha merumuskan tentang Fiqih Bi’ah dengan cara menelusuri dalil-dalil al-Qur’an dan hadis tentang lingkungan dan alam. Selain itu juga mencari-cari referensi tentang hal tersebut dari kitab-kitab klasik (kitab kuning). Dari perumusan itu para ulama menemukan beberapa dalil dan juga pendapat para ulama klasik tentang lingkungan. Akan tetapi, pendapat-pendapat itu belum tersitematisasi dan masih mengendap dikitab-kitab tersebut. Hal ini bisa terjadi agaknya disebabkan belum adanya prioritas tentang pentingnya menjaga lingkungan. Dapat dilihat, pada awalnya rumusan maqasyid syari’ah al-Syatibi meliputi lima hal: hifdzul din (menjaga agama), hifdzul nafs (menjaga hak hidup), hifdzul nasl (menjaga hak untuk mmiliki keturunan), hifdzul aql (menjaga hak berpikir), dan hifdzul mal (menjaga harta benda). Baru setelah itu, para ulama merumuskan satu hal lagi yang disadari sangat vital keberadaannya sebagai maqasyid syari’ah yaitu hifdzul bi’ah (menjaga kelestarian lingkungan).
Dapat difahami, tentang kenapa kajian itu muncul belakangan, karena letak geografis Islam awal (Arab Saudi) berada di wilayah padang pasir yang tsndus. Sehihingga penjelasan al-Quran tentang lingkungan hanya berkaitan dengan hal yang mendasar saja. Terkait hal yang lebih rinci, misalnya tentang pentingnya menjaga kelestarian pohon-pohon agar mata air tidak habis dan erosi tidak terjadi tidak dijelaskan dalam al-Qur’an. Di samping itu, kebutuhan manusia dengan produk-produk alam saat itu hingga beberapa abad setelahnya masih belum kompleks seperti sekarang.
Memang seperti terjadi semacam pergeseran pandangan tentang alam pada diri umat manusia. Semenjak modernisasi menembus lini kemanusiaan masyarakat, ada semacam perubahan spirit. Pada awalnya manusia memahami posisinya sebagai khalifahtullah fil ardl, (wakil Allah:yang mengatur, menjaga, dan bertanggungjawab atas bumi). Kemudian karena ketidakjeliannya dalam menyikapi gelombang kemajuan modern, dan dibarengi syahwat penguasaan modal, merubah mind set mereka hanya sebagai pengguna alam belaka. Kini banyak orang lupa. Alam hanya difahani sebagai ciptaan untuk dimanfaatkan, sehingga jeritan iba darinya meminta kasih sayang terabaikan.
****
Bisa dikatakan, leluhur bagsa ini sebenarnya sangat mumpuni dalam hal konservasi alam. Hal itu bisa diketahui dari prilaku-prilaku mereka dalam berinteraksi dengan alam. Adanya tradisi ulur-ulur di sumber air merupakan ritual yang itu dapat dipahami sebagai pengungkapan rasa hormatnya kepada alam. Ada lagi ‘nyadran” dilakukan dibawah pohon-dan gunung-gunung menjadikan mereka enggan untuk merusak pohon dan gunung. Kegiatan semacam ini oleh istilah modern dipeyorasikan menjadi kegiatan agama primitif yang sering disebut dengan animisme dan dinamisme.
Peyoratisasi dengan menggunakan istilah animisme dan dinamisme tersebut memberikan dampak juga pada pemikiran Islam belakangan. Animisme sebagai paham kepercayaan kepada kekuatan roh-roh halus yang bisa membantu manusia dan dinamisme: kepercayaan pada benda-benda memiliki kekuatan yang bisa membantu manusia dianggap syirik dan harus dihindari dan dimusnahkan tanpa memikirkan dampak setelahnya.
Berbeda dengan itu, Islam tradisional yang memiliki karakter sinkretik tidak serta merta memberangus budaya dan kearifan lokal begitu saja. Tradisi yang dianggap animisme dan dinamisme tersebut tetap diadakan hanya saja esensi dan tujuan kegiatan itu dirubah dengan spirit Islami. Misalnya, tradisi nyadran ke kuburan yang pada awalnya meminta perlindungan pada roh leluhur menjadi tradisi tawasul dan mendoakan leluhur. Selain itu, tradisi ulur-ulur di sumber bila spirit awalnya pemujaan terhadap jin penunggu disitu diganti dengan acara tasyakuran alam, dan sebagainya.
Sinkretisme yang dilakukan Islam bukan tidak memilik manfaat rasional. Sikap seperti itu didasari rasa toleransi yang luwes bukan ego iman yang arogan. Dengan toleransi yang luwes tidak menggunakan paradigma hitam-putih dalam menghukumi sesuatu. Perlu dufahami juga, kearifan lokal ada bukan berarti tanpa sebab. Islam sebagai pendatang ibarat seorang tamu, sedangkan masyarakat lokal dengan segala tradisinya adalah tuan rumah. Dalam hal ini tuan rumah tentu lebih mengenal situasi rumahnya daripada tamu. Apa bila tamu ingin menawarkan kebenaran masuk dalam rumah itu tentunya ia harus berdialog dulu dengan tuan rumah agar mengenal situasi rumah tersebut.
Maksud analogi ini adalah, kearifan lokal yang terjadi di masyarakat bukanlah akumulasi dari kesalahan-kesalahan sehingga tidak serta merta bisa dicapkan kepada praktik kearifan itu sesat ataupun syirik. Kearifan lokal itu tentu sebelumnya juga mengalami proses dialektika natural budaya yang panjang–sebagai proses penghuni rumah mengenali rumahnya–sehingga pasti ada unsur kebaikan di dalamnya. Misalnya tentang kegiatan ritual mereka yang dilakukan ditempat-tempat tertentu dan sifatnya menyatu dengan alam tentu itu bukan berarti tanpa sebab. Bisa jadi, yang dilakukan itu dalam rangka menjaga keakraban mereka dengan alam.
Menurut beberapa peneliti, karakter filsafat timur selalu berusaha memunculkan harmoni antara manusia dengan Tuhan manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Karakter filsafat Jawa juga seperti itu. Dengan demikian jika karakter Filsafat Islam awalnya hanya berkaitan dengan hubungan Manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia, maka dalam hal hubungan manusia dengan alam perlu kiranya belajar kepada tradisi Jawa itu sendiri. Sehingga Islam Nusantara yang agraris akan berbeda dengan Islam Timurtengah yang padang pasir. (Adib Hasani)