Tulisan ini dibuat saat seluruh area persawahan di Kecamatan Kalidawir terendam banjir. Cukup tiga jam hujan deras tidak berhenti, semua lahan penuh genangan. Semua tanaman terlihat layu, sepertinya kedinginan.
Termasuk persawahan di Desa Tunggangri tidak luput dari fenomena itu. Semua warga saling cerita tentang problem tanamannya. Ada yang mau menanam masih tertunda. Ada yang tanamannya sudah tumbuh, tapi semua lusuh. Adalagi yang nyaris panen, tapi gagal sebab hujan kemarin.
“Saat ini menanam sulit”, demikian sambat para petani.
Melihat kenyataan yang demikian, sejenak teringat peristiwa tahun 90an. Waktu itu, Desa Tunggangri nyaris setiap tahun dilanda banjir akibat jebolnya tanggul sungai. Artinya, hampir setiap musim hujan pertanian di desa ini berhenti produksi. Akan tetapi, nyatanya ekonomi mereka masih bertahan.
Ya, meskipun banyak yang memilih jalan menjadi pekerja Migran (PMI), tidak sedikit juga yang memilih bertahan di kampung halaman.
Menggali ingatan saat saya masih kecil itu, ternyata para petani memiliki strategi tersendiri untuk bertahan dari krisis. Selain mereka memiliki prinsip, “ora ubet ora ngliwet“, mereka juga menyimpan pusaka benteng ekonomi turun temurun dari para leluhur, yaitu beternak “Rajakaya”.
Rajakaya merupakan sebutan untuk hewan ternak yang dianggap mampu menopang ekonomi masyarakat pedesaan Jawa. Hewan ini diantaranya adalah kambing, sapi dan kerbau. Ketiga hewan tersebut dinilai memiliki harga stabil bagus di pasaran.
Bagi masyarakat petani, Rajakaya menjadi investasi andalan setelah tanah. Rajakaya sering menjadi solusi saat petani mengalami kebuntuan produksi. Di samping itu, pada Rajakaya mereka menambatkan kebutuhan ekonomi yang bersifat besar, seperti untuk sekolah anak, acara pernikahan, membangun rumah, naik haji dan sebagainya.
Keberadaan raja kaya ini sangat penting bagi para petani. Bahkan sudah menancap kuat pada kesadaran kultur mereka. Saya sangat ingat bagaimana ketika masih usia SD “dipaksa” beternak kambing oleh ibu saya. Sekalipun ngaret (kegiatan mencari rumput/pakan ternak) bagi anak-anak pada waktu itu terkesan nggak keren, ibu saya dengan berbagai cara berupaya agar saya mau ngopeni kambing.
Apa yang saya alami ini, agaknya juga terjadi pada anak-anak lain. Mahfud Ikhwan dalam cerpennya bercerita dengan apik bagaiman seorang anak desa harus “Belajar mencintai kambing”. Sang anak mengetahui orangtuanya baru mendapat uang dari hasil panen. Atas adanya rezeki itu, ia berharap akan dibelikan sepeda oleh ayahnya. Namun, harapan itu berakhir pupus. Alih-alih membeli sepeda, ayahnya malah membelikan kambing dan mewajibkan anak tersebut untuk memeliharanya.
Fenomena orang tua membelikan kambing anaknya ini tampaknya masih bisa ditemukan di desa hingga sekarang. Alasan utama para orang tua melakukan itu adalah supaya anak-anak ngerti gawean (mengerti pekerjaan). Beternak menjadi semacam pendidikan wirausaha pertama bagi anak-anak. Disamping minim resiko, beternak Rajakaya juga tidak memerlukan operasional usaha yang banyak.
***
Dari sudut pandang permainan catur, karakter Rajakaya sepertinya tepat diibaratkan benteng. Geraknya yang tegak lurus, memiliki kekuatan strategis untuk menangkal serangan sekaligus menyerang lawan. Berbeda dengan itu, posisi bertani yang setiap hari ditekuni masyarakat itu, justru sebenarnya hanya sebagai peluncur. Posisi geraknya yang miring menjadikannya rentan tumbang, namun bagaimanpun ia tetap memiliki potensi besar untuk bisa mendapatkan keuntungan.
Bagi petani tenanan yang menanam tanaman priayi, posisi peluncur memang penuh resiko. Modal yang besar menawarkan resiko rugi yang besar. Akan tetapi, jika mereka menemukan momen yang pas, keuntungan mereka bisa meluncur tinggi. Maka dari itu, salah satu syarat untuk bisa menjadi petani tenanan (profesional) berkelanjutan adalah harus pintar menganalisis momen.
Adapun bagi petani utun (petani konvensional) posisi peluncur ini diandalkan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Jika untung, ya langsung habis untuk konsumsi. Sedangkan posisi Rajakaya bagi mereka untuk jaga-jaga pengeluaran bulanan atau tahunan yang nilainya lebih besar.
Kakak saya yang seorang PMI, ketika ditanya kapan pulang dan menetap di rumah? ia menjawab, “kalau sudah mampu beli induk sapi dan ada lahan yang bisa ditanami”. Artinya, konsep bertani untuk kebutuhan sehari-hari dan ternak “raja kaya” untuk investasi sudah begitu melekat dalam benaknya.
Bahkan sering tidak disadari, pada diri saya sendiri juga melekat konsep demikian. Dalam hal ini, sepatutnya saya berterimakasih pada ibu saya yang pernah memaksa saya untuk “mencintai kambing”. Kambing yang dulunya satu ekor kini berubah menjadi induk sapi yang beranak berkali-kali. Dari anak-anak sapi inilah kebutuhan-kebutuhan penting saya terpenuhi. Beli sepeda motor, menikah, hingga patungan menebus sejengkal tanah, semua dari dana pokok hasil ternak sapi.
Nyata, bagi saya sampai sekarang beternak sapi tetap menjadi andalan. Alih-alih lulus kuliah ijazah tidak laku, sapi tetap menjadi nomor satu.
Atas pengalaman tentang Rajakaya tersebut, pikiran dungu saya pun sempat ngelantur: “lha iya tho, sepertinya selama ini sapi kok lebih bisa memberikan kepastian ekonomi dari pada orang-orang berdasi. Sepertinya, masyarakat desa pun lebih mempercayakan ekonominya pada Rajakaya ketimbang orang-orang yang tampilannya “kaya raja”.”
Wahai, sang yang “kaya raja”, ciptakanlah rajakaya-rajakaya lainnya! []Adib Hasani