Di tengah berita demo 22 Mei 2019 yang konon berpotensi mengkoyak persatuan, beberapa kelompok di Tulungagung justru semakin memantabkan jalinan kerukunan. Patut disyukuri, sebuah kegiatan sederhana bertajuk bagi takjil dan buka bersama telah dilaksanakan dengan tertib, aman dan penuh nilai toleransi. Pasalnya, kegiatan itu diselenggarakan oleh komunitas lintas iman. Dan yang lebih keren kegiatan bertempat di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jepun, Kedungwaru, Tulungagung. Ada semacam romantis-romantis gitu, ketika berbuka puasa berdampingan dengan umat lain yang turut menyiapkan serta menikmati hidangan yang tersaji.
Kegiatan semacam ini bukanlah sesuatu yang baru di Tulungagung. Setidaknya sudah semenjak tahun 2010 acara buka bersama dengan umat lain dan di tempat ibadah umat lain diselenggarakan. “Awalnya memang ada pihak yang menentang kegiatan ini, bahkan diantaranya termasuk lembaga resmi yang punya power besar, namun kami tetap saja tidak peduli.” Kata Kang Abdul Mukhosis selaku salah satu senior Komunitas Gusdurian yang intens menggagas dan melaksanakan kegiatan yang melibatkan lintas iman.
Jika dilihat, kegiatan itu memang sangat sederhana, namun di balik itu, ini mampu meng-upgrade nilai luhur bangsa yang mengendap di dalam benak mayoritas masyarakat, yakni “Bhineka Tunggal Ika”. Terlebih Tulungagung yang belakangan muncul kesimpulan sejarah bahwa gagasan “Bhineka Tunggal Ika” lahir dari sini, tentu memiliki tanggungjawab sejarah tersendiri dalam pelestarian nilai tersebut. Tulungagung dituntut menjadi garda terdepan dalam memberikan contoh tentang budaya merayakan perbedaan.
Kegiatan ini dimulai pukul 16:00 dengan pembagian takjil kepada siapapun yang melintas di jalan depan Gereja. Setelah takjil habis, seluruh panitia dan tamu undangan masuk di halaman Gereja lalu duduk melingkar sambil menunggu adzan Magrib. Di momen ini nuansa keakraban sudah mulai terasa kuat, di mana semua orang duduk lesehan sama rata, dengan hidangan yang sama pula. Tidak ada kelompok yang lebih tinggi ataupun yang lebih rendah. Tua-muda baik dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, maupun Penghayat Kepercayaan semuanya setara. Nuansa itu bertambah kuat lagi setelah adzan magrib berkumandang di sound system Gereja. Masing-masing menyantab hidangan dengan rasa syukur dan gembira. Perbedaan seolah luruh. Tidak peduli agamanya apa, ketika ada yang belum mendapatkan makanan atau minuman maka siapa saja yang dekat dengan makanan langsung tersadar membagikannya.
Situasi yang seperti itu diungkpakan oleh Kasah Subroto sebagai wujud dari “tatwam ashi”. “Tatwam ashi” merupakan filsafat Hindu yang berarti aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Dengan begini perbedaan antara aku dan kamu luruh begitu saja menyatu dalam persatuan “tunggal ika”. Namun demikian ini bukan berarti bermaksud mencampuradukkan ajaran agama. Agama-agama tetap menjadi kebhinekaan, yang memang itu sudah menjadi kehendak Tuhan. “Mengapa tidak sedikit orang yang menolak kegiatan lintas iman semacam ini? sebab kegiatan ini masih dicurigai sebagai kegiatan yang akan mencampuradukkan ajaran agama, kalau tidak begitu ditakutkan terjadi kemurtadan. Padahal, kalau di Islam sudah jelas dalilnya ‘lakum dînukum wa liyadìn’, untukmu agamamu dan untukku agamaku. Justru kegiatan semacam ini bisa menjadikan kita dewasa dalam ber ‘lakum dìnukum wa liya dìn’ dengan bingkai perdamaian.” Ujar Syahrul Munir, Mantan Ketua GP Ansor Cabang Tulungagung.
Jika ditelusuri, munculnya perpecahan antar manusia di suatu bangsa disebabkan dari aku yang dilawankan dengan kamu atau dia. Dalam perspektif lain, Pendeta Triatmoko dari GKI (Gereja Kristen Indonesia) menjelaskan “sebenarnya aku bukan apa-apa tanpa kamu”. Penjelasan ini menarik, sebab berbasiskan kenyataan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Selamanya aku tetap butuh kamu yang berbeda untuk meneguhkan eksistensi aku dan bekerjasama dalam pemenuhan kebutuhan aku. Dalam hal ini aku tanpamu bukan sekadar butiran debu, lebih dari itu, aku tanpamu bukan apa-apa.
Kemudian Pendeta Lipta dari GKJW turut menjelaskan bahwa aku dan kamu tidak akan pernah terpecah jika kita tidak menggunakan cara pikir kawan-lawan. “Selama ini kita menyaksikan perbedaan dijadikan modal kepentingan politik dengan mengembuskan cara pandang kawan-lawan. Kita yang sama adalah kawan, dan mereka yang berbeda adalah lawan. Nah ini jika diterus-teruskan akan memicu pertikaian dan perpecahan”. Hal semacam ini tentu sudah kita rasakan. Demo yang berbuntut kerusuhan tanggal 22 Mei 2019 kemarin merupakan puncak dari wacana kawan-lawan yang sudah sejak lama didakwahkan di masyarakat. Perbedaan pilihan politik berbaur dengan sentimen keagamaan menjadi bahan peledak yang ampuh dalam memecah belah bangsa. “Lalu, solusi dari cara pandang kawan-lawan ini adalah dengan menumbuhkan cinta dan menebar kasih kepada sesama manusia”. Begitu Pendeta Lipta menambahkan.
Memang dewasa ini jika kita melihat di berbagai media permusuhan dipertontonkan sedemikian rupa. Meskipun jumlah mereka yang bertikai sebenarnya tidak banyak jika dibandingkan dengan seluruh penduduk Indonesia, namun kemunculannya yang sering di media perlahan tentu akan mampu mempengaruhi masyarakat. Di era “post truth” yang serba absurd ini, penting diadakan kagiatan yang masif sebagai counter wacana. Sebagaimana diungkapkan K.H Musthofa Bisri: sekarang tidak zamannya “sing waras” diam dan “ngalah”, sekarang “sing waras” juga harus bersuara dan tidak boleh “ngalah”. Untuk itu kiranya penting, menggali nilai-nilai perdamaian dari “silent majorities” kemudian di share via berbagai media, baik berbentuk video, tulisan, kegiatan atau apa pun.
Salam damai.. (Adib Hasani)