“Tulungagung kota seribu warung kopi, lima ribu batang rokok berbatik, dan sepuluh ribu colokan”.
Bicara soal warung kopi (istilah lain: warkop) dan cethe, tidak afdhol kiranya jika melupakan kota Tulungagung. Bolehlah berkilah budaya ngopi ada di mana-mana, namun jika diranking, yakin seyakin-yakinnya Tulungagung akan ada di posisi atas. Apalagi nyethe, Tulungagung lah pemilik asli budaya mengoles batang rokok dengan ampas kopi ini. Ya, dalam hal kopi Tulungagung tidak mau mubadzir, dinikmati hingga ampas-ampasnya.
Bagi masyarakat Tulungagung tentu bukan suatu yang aneh melihat pemandangan orang-orang nyangkruk di warung sepanjang malam. Mereka tepekur dengan ditemani kopi panas. Asap-asap mengepul dari cangkir-cangkir kopi memunculkan semburat warna yang ditembus lampu redup. Terlebih jika mereka merokok, maka asap akan semakin tebal lagi. Katanya itu tidak sehat, namun dalam sudut pandang lain indah juga dipandang.
Ngopi merupakan modal budaya yang bagus untuk terus dilestarikan dan dikembangkan. Perlu digarisbawahi, istilah ngopi di Tulungagung bukan hanya sekadar menikmati minuman asal Ethiopia itu. Akan tetapi, juga mafhum sebagai tindakan pergi ke warkop. Meskipun sering juga minuman yang dipesan bukan kopi, mereka tetap menamakan kumpul di warkop dengan istilah ngopi.
Dalam hasil survei yang dirilis oleh Jakpat mengatakan bahwa 71% pecinta kopi di Indonesia lebih memilih ngopi secara bersama-sama. 63% dari mereka merasa tidak lengkap jika tanpa dibarengi memakan makanan ringan. Dan 25% peminum kopi suka membarenginya dengan merokok.
Dari angka itu jelas bisa menjelaskan bahwa ngopi memiliki potensi besar untuk proses sosialisasi bagi masyarakat. Di warkop, mereka berkomunikasi dengan membahas apa pun. Dari warkop orang bisa memperluas jaringan sosial. Dari warkop bisa lahir ide-ide besar. Dari warkop tercipta masyarakat yang guyub rukun. Lalu, dari warkop juga semua masalah bisa diselesaikan, harapan bisa direncanakan dan cita-cita bisa lebih mudah digapai. Khusus di Tulungagung, dapat dirasakan bahwa budaya ini berpengaruh dalam menciptakan masyarakat yang gaul, terbuka dan inklusif.
Budaya ngopi di Tulungagung tidak hanya ada di wilayah perkotaan saja, tetapi juga masuk hingga pelosok-pelosok. Di Desa Tunggangri orang mulai dari usia remaja hingga tua banyak yang gemar pergi ke warkop. Namun jika dipersentase para remaja dan pemudalah yang lebih banyak. Remaja kebanyakan pergi ngopi untuk main game online. Beda lagi, bagi para pemuda yang sudah usia nikah atau yang memang sudah menikah, mereka biasanya membicarakan tentang tema-tema perekonomian.
Trend ngopi ini seolah tiada matinya. Diprediksikan ini akan terus meningkat. Bahkan Maulandi Rizky Bayu Kencana dalam http://m.liputan6.com mencatat pertumbuhan industri makanan dan minuman dalam setahun berpotensi meningkat hingga 10 persen. Dan itu bukan hanya isapan jempol belaka. Tirto.id mencatat bahwa industri kedai kopi memiliki rata-rata margin keuntungan antara 30-40 persen dari total penjualan. Jelas, ini potensi bisnis yang bagus. (baca: https://tirto.id/ramai-ramai-merambah-bisnis-kedai-kopi-cHPS)
Maka dari itu tidak heran, sebagai salah satu dari “kotanya” Kecamatan Kalidawir, Tunggangri terus saja dilirik oleh para pengusaha warung kopi dan angkringan. Sebagaimana diceritakan oleh Ibu Srilailatin, Kepala Desa Tunggangri, bahwa beliau kerap dimintai izin pengusaha warkop untuk membuka lapak di tempat-tempat umum yang strategis. Salah satunya di area tanggul saluran Kali Tengah yang telah dibangun, dan kelak memang diproyeksikan menjadi tempat wisata.
Hingga dipublikasikannya tulisan ini, di Desa Tunggangri terdapat enam warung kopi. Seluruhnya adalah:
Pertama, warung kopi “Srawung” ada di pojok timur laut Tunggangri. Tepatnya perempatan Kambingan ke timur selatan jalan. Warung ini buka setiap hari dan selalu ramai. Konsumen yang hadir di sini biasanya para bapak dan pemuda yang sudah usia nikah. Kegiatan yang dilakukan ngobrol sambil menggunakan fasilitas wifi untuk browsing berbagai informasi. Menu yang disuguhkan diantaranya: aneka minuman, gorengan, snack, mie kuah dan mie goreng.
Kedua, warung kopi “Wawa D’Cete”. Bertempat di sebelah utara perempatan Gardu Kicak. Warung kopi wifi ini didesain lebih elit, dengan gedung dan tempat duduk yang tertata rapi. Tempat ini cocok untuk pertemuan baik resmi maupun tidak. Banyak juga di antara konsumen yang datang adalah muda-mudi milenial. Memang angle dari tempat ini menarik buat selfie-selfie, sehingga tidak jarang bagi mereka yang ngopi mengambil foto untuk sekadar diposting di story Medsos.
Gedung “Wawa D’Cete” terbagi menjadi dua lantai. Lantai bawah digunakan sebagai tempat pemesanan kopi, tempat konsumen, dapur dan toilet. Adapun lantai atas ada tempat konsumen dan ruang karaoke. Lalu, diantara menu-menu yang dapat dipesan di sini ada minuman panas, minuman dingin, snack, dan makanan berat seperti nasi geprek dan lain-lain.
Ketiga, “Warkop Pak Pur”. Pak Pur tidak lain adalah nama pemilik warkop ini. Tempatnya ada di seberang jalan “Wawa D’Cete” sebelah selatan. Atau lebih tepat lagi sebelah selatan perempatan Gardu Kicak. Masih satu atap dengan Warkop ini ada penjual jus buah dan makanan tradisional Kicak-Cenil. Biasa buka setiap hari setelah magrib hingga tengah malam. Meskipun tidak disediakan fasilitas wifi, warung ini tetap tidak sepi pengunjung, sebab sudah memiliki pelanggan tetap. Mereka yang hadir biasanya kalangan bapak-bapak. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang memiliki jabatan di desa (perangkat desa) atau di masyarakat.
Keempat, “Warkop Pinka”. Istilah “Pinka” di Tulungagung populer sebagai kependekan dari “pinggir kali”. Jika Warung disebut kata Pinka maka pikiran orang Tulungagung pasti langsung tertuju pada tempat refreshing Pinggir Kali Ngrowo yang ada di sekitaran jembatan Lembupeteng. Akan tetapi, yang dimaksud Pinka di sini adalah warung kopi yang ada di pinggir kali Tungnggangri yang paling utara. Tepatnya, jembatan Tunggangri yang paling utara ke timur sekitar 50 meter utara jalan. Warung kopi ini tidak berbeda jauh dengan umumnya. Konsep tempat duduk model kursi dan meja, tanpa lesehan. Menu yang disajikan meliputi, minuman panas, minuman dingin, dan snack. Sinyal wifi sangat kuat, sehingga bisa dipakai oleh orang banyak. Warung kopi ini juga menawarkan tempat yang strategis. Nuansa pinggir kali yang dekat dengan air dan hamparan sawah membawa kesejukan sendiri bagi mereka yang nyruput kopi di sini.
Kelima, “Warkop Gerdon”. Disebut Warkop Gerdon sebab tempat warung kopi ini di gerdon (gardu). Jika dari utara, tempat itu berada di sebelah selatan bok dhuwur (jembatan tinggi) sebelah kanan. Buka setiap malam, mulai habis Magrib (19:00) sampai tengah malam (24:00). Warung lesehan yang biasanya digunakan tempat nyangkruk bagi pemuda-pemuda Dusun Ngrawan ini, juga memiliki menu seperti warung kopi pada umumnya. Ada minuman panas, minuman dingin, aneka gorengan, mie goreng, mie rebus, dan tentu wifi dengan sinyal yang tidak kalah kuat. Pelayan warkop ini ramah, dan tempatnya sangat strategis untuk istirahat sejenak bagi orang yang melakukan perjalanan.
Keenam, “Warkop Wisanggeni”. Warung kopi wifi ini buka setiap hari. Lokasi sekitar lima puluh meter sebelah selatan dari Warkop Gerdon, timur jalan. Setting tempat duduknya sebagian di kursi, sebagian lesehan. Menu yang ditawarkan sama dengan Warkop-warkop yang lain: minuman panas, minuman dingin, gorengan, mie kuah dan mie goreng. Konsumen yang biasa berkunjung ke warung ini adalah mereka para remaja milenial. Sebagian lain juga mereka pemuda-pemuda yang ingin nyantai sambil memanfaatkan fasilitas sinyal wifi. Tempat ini juga nyaman bagi mereka yang hobi diskusi sembari ngopi.
Dengan adanya enam warung kopi di Desa Tunggangri secara tidak langsung mendorong masyarakatnya memiliki budaya sosialisai yang bagus. Di warung kopi polarisasi masyarakat (misalkan: santri, priyayi, abangan) lebur dalam komunikasi yang natural. Potensi skat-skat budaya antar kelompok yang bisa menjadi bahan bakar perpecahan seolah hilang bersama kenikmatan secangkir kopi.
Selanjutnya, melalui budaya ngopi ini ada juga yang memanfaatkan sebagai pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat. Hal ini misalnya sebagaimana yang dilakukan oleh Perpustakaan Srikandi Desa Tunggangri. Dalam usahanya menebar budaya literasi, para pengelola perpustakaan menjadikan budaya ngopi sebagai pendekatan yang efektif untuk meningkatkan minat masyarakat dalam membaca buku dan diskusi. Sejauh ini yang dilakukan Perpustakaan Srikandi adalah memobilisasi para petani muda untuk ngumpul di tempat tertentu dan mambahas persoalan-persoalan pertanian. Dan manfaatnya sangat bagus. Bagi petani muda yang masih pemula, bisa mengajukan pertanyaan dari problem-problem yang dialami kepada yang lebih senior. Sedangkan bagi mereka yang lebih senior bisa bertukar pikiran, tukar pengalaman dan menganalisis bersama solusi atas problem baru yang terjadi pada tanaman mereka.
Demikianlah potensi usaha warkop dan budaya ngopi di Desa Tunggangri. Semoga Anda tidak percaya begitu saja dengan cerita-cerita tersebut. Sehingga hendak membuktikan sendiri langsung. Jika ngopi di Tunggangri cik lali, hubungi Admin.