Sebentar lagi Ramadhan tinggal landas. Whusss, satu bulan berlalu begitu cepat. Ya, sepertinya baru beberapa hari lalu Kementrian Agama melakukan sidang isbat penentuan awal Bulan Ramadhan. Lha kemarin Pak Mentri sudah memimpin sidang lagi untuk penetapan 1 Syawal. Bagi orang yang belum meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah seperti saya, tentu ada rasa “getun tanpa upami”. Heleh, “nggaya”.
Terlepas dari itu, Ramadhan tahun ini tampak semakin istimewa. Istimewa bagi siapa? Ya Bagi semua.
Berdasarkan “lirak-lirik” sana-sini, semarak Ramadhan mampu menembus berbagai lini kehidupan manusia. Khususnya di sekitar kita–Tulungagungan sini saja lah, ndak usah jauh– Bulan Ramadhan mampu menjadi momen yang memecah rutinitas masyarakat yang dalam bulan lain begitu monoton. Dapat kita lihat, para petani yang biasanya di sawah atau ladang tidak kenal lelah dan waktu, di bulan ini menjadi lebih wolles bin rileks. Jika umumnya pulang jam 11:00 siang lebih, kini jam 10:00 sudah bersiul-siul di rumah sebelum tidur siang–itung-itung tidurnya orang puasa bernilai ibadah. Beda lagi bagi kalangan pemuda, aktivitas malam yang biasanya hanya “ngopi”, di Bulan Ramadhan ada kesibukan tambahan ngronda di waktu sahur. Kalau tidak begitu, bagi yang lingkungannya kompak, mereka juga sibuk menghias lingkungan dengan hiasan tertentu seperti memasang lampu natal, umbul-umbul, membuat gapura dan sebagainya. (Lho kok lampu natal? Halah gitu saja ko dipermasalahkan).
Lalu, tentang emak-emak, berdasarkan survei dari forum gosip para emak di berbagai lingkungan, semua mengatakan bahwa pengeluaran mereka untuk konsumsi lauk dan sayur justru meningkat. Seharian penuh keluarga berpuasa, sehingga untuk berbuka mereka menuntut menu yang lebih enak, bahkan ada pula yang menakar, porsinya lebih banyak.
Memang, buka puasa seperti membawa sensasi dan suasana tersendiri. Bagi model orang awam yang kurang tirakat dan “ndak betahan luwe” seperti saya ini, setelah seharian penuh menahan makan dan minum secara otomatis muncul semacam sensasi “balas dendam” dengan ingin makan makanan yang lebih enak dan lebih banyak. Hah, kalau begini alih-alih diet, justru tambah diwet (gedi awet). Adapun suasana berbuka selalu menuntut untuk dilakukan secara bersama. Bayangkan saja, ente jomblo, buka puasa di rumah sendirian, tanpa keluarga, tanpa teman, “yuung..!” betapa hatimu takkan pilu. Maka dari itu, muncullah budaya buka bersama. Dapat dilihat saban sore di Bulan Ramadhan, jalanan sesak kandaraan berlalu lalang. Apa lagi rumah makan, beberapa kali saya berencana berbuka di warung langganan, namun tertolak begitu saja sebab sudah penuh dan harus bocking terlebih dahulu.
Ketika Ramadhan sudah tinggal paruh terakhir, keramaian rumah makan lebih gila lagi. Teman dan saudara banyak yang sudah mudik, sehingga bisa menjadi momen tersendiri untuk berbuka nersama melepas kangen, cipika-cipiki, dan tentu selfi-selfi. Apalagi toko baju dan perlengkapan rumahtangga, setiap sore sampai malam penuh pengunjung untuk mempersiapkan keperluan lebaran. Sampai-sampai imam salat tarawih jadi hilang konsentrasi sebab ketika mengucap “waladhdhallin”, suara ” Aamiin” di belakang semakin lirih.
Begitulah pernak-pernik budaya di Bulan Ramadhan. Barang kali antum bertanya: Apa tidak ada peningkatan di ranah kualitas peribadatan?. Untuk menjawabnya saya hanya bisa berkata: itu bukan kapasitas saya, sebab saya bukan malaikat pencatat amal. Berbicara kualitas peribadatan tentu tidak bisa dilepaskan dengan niat. Lalu niat orang siapa yang tahu. Orang bisa saja meninggalkan salat tarawih yang sunnah itu demi berkumpul menjalin silaturahim dengan saudara dan teman lama yang juga bentuk sunnah yang lain. Lagi pula siapa yang menjamin keikhlasan salat orang. Bisa jadi orang rajin salat tarawih setiap hari, tadarus di Masjid sampai pagi, tetapi di balik itu ada kepentingan mengambil simpati masyarakat agar kelak memilihnya di ajang Pilkades, “umpamane”. Jadi ya itu tadi, jika ditanya tentang kualitas, saya tidak tahu.
Berbeda jika yang ditanyakan tentang kuantitas. Sedikit banyak bisa dijelaskan dari fenomena yang ada. Semenjak awal Ramadhan sudah tampak beberapa kegiatan yang menunjukkan tambahnya aktivitas peribadatan. Di pagi hari yang biasanya sepi, terdengar sayup-sayup suara anak-anak mengaji, dan ini berlangsung sampai sore. Kemudian di malam hari, jamaah shalat Isya’ dan Tarawih tentu bertambah banyak dari pada hari-hari biasa. Setelah tarawih, juga biasa lanjut dengan tadarus sampai waktu yang lebih malam. Belum lagi di ranah pendidikan. Setiap Bulan Ramadhan pasti ada kegiatan Pondok Ramadhan, kegiatan ini biasanya mengombinasikan antara belajar dan beribadah. Di samping itu, di Masjid dan pesantren tidak jarang menyelenggarakan kegiatan ngaji kitab kuning. Kitab yang dikaji biasanya kitab tipis yang kiranya bisa selesai di akhir Ramadhan. Atau jika tidak begitu, satu kitab yang agak tebal dan direncanakan selesai hingga beberapa Ramadhan akan datang. Ketika Ramadhan sudah menunjukkan hari-hari akhir, giliran orang-orang berbondong-bondong ke makam sanak keluarga untuk ziarah dan berdoa dipusarannya.
Semua kegiatan peribadatan di Bulan Ramadhan tersebut juga tidak sedikit peminatnya. Semua kalangan, baik anak-anak, pemuda dan orang tua, selalu ada yang bersemangat melaksanakan. Ya, tentu, jika dibanding dengn kegiatan yang disebutkan di awal tadi jumlahnya masih kalah.
‘Ala kulli hal, semua budaya masyarakat tersebut terbingkai dalam momen Ramadhan. Bulan yang memiliki arti tersendiri bagi setiap orang yang melaluinya. Tidak hanya bagi umat Islam, tetapi bagi semua kalangan. Terlebih bagi non-Muslim pemilik toko-toko besar yang lebih ramai daripada masjid itu. Saya yakin, mereka juga berat kehilangan momen Ramadhan dan akan selalu merindukannya.__ Adib Hasani __