“Iki ngono ngelmune Nabi Sulaiman. Titenono, opo ae lek dingelmoni rejeki bakal melu-melu dewe, duit bahkan pangkat bakal melu-melu dewe.” (Ini adalah ilmu Nabi Sulaiman. Perhatikan, apa saja kalau didasari dengan ilmu rizki akan ikut dengan sendirinya, duit bahkan jabatan akan ikut dengan sendirinya.) Kata seorang guru waktu “nyantri” di MA al-Muslihun Tunggangri.
Sebut saja namanya Mas Pri. Ia seorang pemuda Dusun Ngrawan berusia tiga dasawarsa. Perangainya santun, murah senyum, etos kerja tinggi, dan tentunya, “Ngganteng”. Ia juga terbilang tekun belajar, terutama belajar dalam menyikapi pengalaman hidup. Ia selalu berusaha untuk mengambil hikmah atas kehidupan agar kualitas diri bisa berkembang lebih baik.
Sempat juga di beberapa kesempatan “njagong” dengan Mas Pri. Pada waktu itu sedang musim-musimnya para pemuda dusun mengadu nasip menjadi TKI di perantauan. Mas Pri juga sudah beberapa kali merantau. Saat ditanya soal apa ia ingin merantau lagi? Enteng ia menjawab, “tidak”. Ia punya kesimpulan berbeda dengan kalangan pahlawan devisa yang lain. Baginya, mencari uang dalam perantauan memang boleh jadi lebih mudah, namun ia berpikir, tidak mungkin selamanya di sana. Selain itu, ada momen kemesraan bersama keluarga yang harus tergadaikan. Belum lagi ketika cobaan rindu melanda, ah, jadi semakin berat.
Bagi Mas Pri, Mumpung masih muda, merantau baiknya dijadikan langkah awal mencari modal, kemudian modal itu dikembangkan di rumah. Ia membaca, sebenarnya tetap ada peluang untuk bisa membangun kesuksesan ekonomi di kampung halaman. Ya, meskipun modal utamanya adalah Barberkat (sabar, berani, nekat), dan jimatnya adalah tawakkal kepada Allah. Mengapa harus Barberkat? Sebab di Indonesia belum ada jaminan bahwa orang bekerja pasti kemapanan ekonominya terjamin. Apa lagi usaha mandiri, ketika kandas maka “kudu pinter” bersiul-siul untuk menghibur diri.
Sejak kecil Mas Pri terdidik oleh alam desa yang agraris. Ia biasa hidup di “sor lungko”[1]. “Ngarit” (mencari rumput), ” mlinteng” (Berburu burung dengan ketapel), “ciblon” (renang di sungai), “golek jangkrik” (mencari jangkrik), adalah sebagian mata pelajaran alam yang ia enyam dalam pengalaman semenjak kecil. Ia juga belajar bertani dan bercocok tanam. “Kocor” (mengairi tanaman), “Derep” (bekerja mengurus padi), ” Gejig” (melubangi tanah), “nggarem” (memupuk tanaman) menjadi hal yang biasa ia lakukan di usia yang belia. Ya, memang lingkungan mencetak Mas Pri menjadi orang yang “sregep” (rajin bekerja di sawah), maka, tidak heran jika sepulang dari perantauan ia memilih kembali ke pangkuan sawah dan ladang untuk menekuni bidang pertanian.
Jika dilihat dari lanskap sejarah, perkembangan pertanian di Dusun Ngrawan sebenarnya berjalan lamban. Dusun rawa–rawa [2] yang saat ini berubah wujud menjadi dusun tegalan ini dulunya hanya menguasai ilmu penanaman beberapa komoditas saja di antaranya: padi, tebu, jagung, tembakau, kedelai dan sayur-sayuran. Saat musim penghujan, masyarakat banyak yang menanam padi, atau bagi yang memiliki tanah tegalan luas, sebagian ditanami tebu. Jagung dan tembakau ditanam di musim kemarau. Jika ada tanah tegalan, jagung juga bisa hadir di musim hujan. Dari sedikitnya ilmu pertanian yang dikuasai, akhirnya pekerjaan petani tidak menjadi solusi untuk menawarkan kesejahteraan yang layak kepada masyarakat. Terlebih saat musim hujan, Dusun Ngrawan menjadi langganan banjir dari jebolnya tanggul sungai yang berhulu di pegunungan Pucanglaban dan Kalidawir bagian selatan. Tidak jarang padi yang ditanam beberapa minggu sudah ludes dilibas banjir. Kalau sudah begitu, nyaris selama semusim masyarakat tidak memiliki penghasilan yang berlebih. Akhirnya, para pemuda berusaha mencari solusi lain dengan ikut mengadu nasip di luar negeri. Dan ternyata berbuah positif. Di luar negeri mereka menemukan jalan ekonomi lebih menjanjikan. Bekerja sebagai buruh migran lebih jelas gajinya daripada bermain “dadu” dengan melempar modal di sawah. Hasilnya juga dapat dilihat, di kampung halaman mereka mampu membuat rumah gedung yang lebih megah.
Para pemuda sangat krasan di luar negeri. Bahkan ada yang sampai usia tua tetap bergantung dengan pekerjaan di sana. Kebanyakan mereka merasa tidak telaten bekerja di rumah yang belum bisa semenjanjikan di luar nrgeri. Hal ini terbukti dari meskipun sejak tahun 2002 Dusun Ngrawan terbebas dari banjir sebab sepanjang tanggul sungai sudah dibeton, mereka tetap saja memelih untuk merantau. Bahkan sampai saat ini masih banyak yang tetap memilih “istiqamah” pada pilihan tersebut.
Memang, faktor mereka merantau bermacam-macam. Disamping ekonomi, agaknya merantau ke luar negeri sudah menjadi budaya dan gaya hidup tersendiri. Ada nilai kepuasan bagi para pemuda yang punya pengalaman merantau. Barangkali bagi sebagian orang sebutan TKI atau TKW terkesan peyoratif dan menunjukkan masyarakat kelas bawah yang sering terzalimi. Namun, pada realitasnya di pergaulan sehari-hari pengalaman merantau menjadi kebanggaan tersendiri, terlebih bagi mereka yang sukses. Selain itu, sekali lagi, bagi mereka yang sudah pernah mencicip bekerja di luar negeri ada semacam rasa tidak tlaten ketika bekerja di rumah. Hal ini karena, pekerjaan di rumah dianggap kurang menjanjikan dan hasil yang didapat tidak sebanding dengan yang di luar negeri.
Dalam zona budaya pikir yang demikian, menariknya Mas Pri tiba-tiba berusaha keluar dan memilih jalannya sendiri. Ia nekat kembali ke masa lalunya dengan menekuni bidang pertanian. “Sebenarnya aku memang hobi bertani”, begitu ia sempat berucap. Ia pun mencoba menanam dengan terus belajar. Media sosial merupakan sarana yang baginya sangat menolong untuk sekadar curhat tentang problem-problem yang dihadapi di sawah dan ladang. Ia mengikuti forum-forum petani di facebook, grub whatsapp dan media-media lain. Dari sana ia bertemu dengan orang-orang yang ahli dan berpengalaman. Dengan begitu, ia semakin percaya diri. Beberapa kali ia sukses menanam dan bisa menikmati hasil yang memuaskan. Sempat juga ia kalah, dalam arti gagal panen, namun kegagalan itu baginya justru menjadi bahan pelajaran dan diskusi dengan komunitasnya. Disaat orang lain bersikap “mujbir” dengan komentar, “wisto, pintero koyo opo, wong nandur gandenge panggah karo rejeki” (sudahlah, meskipun pintar, sukses tidaknya bertani tergantung pada rezeki), ia tetap aktif untuk belajar. Bahwa rezeki sudah ada yang mengatur, iya, namun belajar dan usaha baginya tetap nomor satu.
Dalam suatu kesempatan penulis sempat membuat acara “Ngopi Petani” bersama salah satu mahasiswa jurusan pertanian yang sedang melakukan tugas perkuliahan di desa. Mas Pri adalah salah satu yang paling semangat untuk hadir. Di acara itu, seorang mahasiswa pertanian yang sudah berpengalaman mengakui bahwa pengetahuan Mas Pri sudah lebih dari mumpuni. Ia justru banyak mendapatkan pengetahuan baru dari diskusi dengan Mas Pri. Salah satu yang dikagumi mahasiswa itu dari Mas Pri adalah keberaniannya menanam tanaman yang perawatannya sulit, dan modalnya tidak sedikit. Ya, tanaman yang dimaksud adalah melon.
Saat ini melon merupakan komoditas primadona yang diproduksi oleh petani desa Tunggangri. Khususnya di dusun Bangunsari, di sana banyak orang yang memang sudah berpengalaman dan ahli. Adapun di Dusun Ngrawan, sebenarnya melon sudah ditanam sejak awal tahun 2000, namun tidak lebih dari empat petani saja. Meskipun hasil panen melon bisa berkali-kali lipat daripada tembakau dan jagung, masyarakat waktu itu tetap lebih memilih menanam dua komoditas yang terakhir. Ini disebabkan petani pada umumnya masih takut untuk “move on” ke melon, karena belum menguasai ilmunya. Sedangkan, beberapa petani yang sudah mengerti ilmu tanam melon, menganggap bahwa ilmu itu adalah rahasia dapur, sehingga cenderung diam dan enggan berbagi lebih banyak.
Akantetapi, seiring berjalannya waktu, meskipun lama, para petani lain ada yang iseng mencoba. Di antara mereka juga ada yang berhasil, ada juga yang gagal dan jera. Baru puncaknya pada tahun 2014, seorang ibu yang ditinggal suaminya merantau berhasil menanam melon sendirian dengan mendapatkan panen yang maksimal. Fenomena ini mampu mengusik keberanian petani laki-laki untuk mencoba ikut menanam melon. Akhirnya, petani melon di Dusun Ngrawan semakin banyak dan Mas Pri adalah salah satu yang paling ahli.
Berbeda dengan sikap petani melon terdahulu, Mas Pri lebih terbuka. Ia justru merasa senang ketika ada orang yang bertanya kepadanya tentang problem pertanian. Baginya, problem adalah sumber ilmu. Ketika ia bisa menjawab maka akan dijawab, namun jika tidak, maka bisa menjadi bahan diskusi dan penelitian. Semangat dan cara pandang Mas Pri inilah yang mengagumkan. Ia memandang strategi ekonomi bertani beda dengan produsen makanan yang punya resep rahasia. Bertani tidak bisa sendiri, sebab problem pertanian terus berkembang. Solusi lama belum tentu bisa diterapkan untuk problem baru.
Pada sikap Mas Pri tersebut terselip inspirasi literasi petani. Maksudnya, petani yang selain memfungsikan dirinya sebagai pekerja di ladang atau sawah, juga tidak meninggalkan spirit sebagai pembelajar dan peneliti. Ini lah yang dimaksud ilmu Nabi Sulaiman, meletakkan ilmu di atas tujuan-tujuan materialis. Saat Allah memberikan pilihan: harta, tahta atau ilmu, maka Nabi Sulaiman memilih ilmu. Hasilnya, beliau justru mendapat semuanya dengan menjadi raja yang sangat kaya raya plus berjodoh dengan Ratu Bilqis yang sangat cantik. Teorinya sederhana, jika ingin menggapai akibat, maka maksimalkan sebab dan ilmu adalah sebab yang tidak bisa dipisahkan dari akibat-akibat yang diinginkan. Kini Mas Pri sudah menjelma menjadi elit petani dengan segudang pengetahuan dan pengalaman. Ia petani yang sukses dengan hasil panen melon ratusan juta per panennya. Ia juga menjadi teman diskusi yang baik bagi para petani yang mengalami kebuntuan.
Walhasil, yang menjadi poin penting dari cerita Mas Pri adalah kiranya penting memfasilitasi adanya transfer pengetahuan pertanian kepada masyarakat. Lambannya Dusun Ngrawan dalam perkembangan pertanian tidak lain disebabkan adanya kebuntuan transfer pengetahuan tersebut. Andai saja pengetahuan menanam melon sudah tertransfer semenjak tahun 2000 kepada para petani, maka tentu, kini Dusun Ngrawan sudah menjadi produsen melon yang lebih besar lagi. Selain itu, virus bijak ber-Medsos ala Mas Pri juga perlu ditularkan. Akhir-akhir ini Medsos tampak rendah sebab difungsikan menebar kebencian, padahal ia akan lebih berkah jika digunakan mencari ilmu pengetahuan. Berkaitan dengan hal ini, sebenarnya Perpustakaan Srikandi sebagai corong litetasi Desa Tunggangri turut bertanggunhjawab atas pemfasilitasan tersebut. Ya, setidaknya bercita-citalah untuk bisa membuat forum literasi petani yang lebih intensif. Meskipun jika menoleh ke kanan dan ke kiri, terlihat ini masih berat. Namun, seberat apa pun tetap perlu diusahakan, pelan-pelan saja. Semoga!
Baiklah, kiranya sudah cukup kisah tentang Mas Pri. Dan eh, iya, bagi emak-emak atau calon emak yang tiba-tiba ngefans sama Mas Pri, perlu dikabarkan bahwa Mas Pri sudah beristri dan beranak satu. Jadi, mohon bersabar atas kenyataan ini dan jangan sakit hati.. (Adib Hasani)
[1] “sor lungko” Adalah kiasan bahasa Jawa khas Kalidawir. Arti literalnya adalah “di bawah bongkahan tanah yang sudah di bajak”, kiasan ini biasa disematkan kepada para petani yang memanh setiap harinya sibuj bekerja di sawah.
[2] Konon Dusun Ngrawan dulunya adalah wilayah rawa, maka dari itu dinamakan ” Ngrawan” Artinya tempat yang berrawa. Namun setelah terjadi banjir berkali-kali rawa itu perlahan tertutup tanah dari erosi gunung, dan kini menjadi wilayah tegalan.