Dulu, di Dusun Ngrawan tanaman tembakau menjadi “gaco” para petani untuk menyangga ekonomi. Tanaman yang berusia tiga bulan ini harus mengalami banyak proses sebelum menjadi tembakau kering siap konsumsi. Tanam, munggel, miwil, mengunduh, ngimbu, kobet, menggulung, merajang, penjemuran, dan terakhir pelipatan, adalah proses-proses yang harus di tempuh. Jika ditambah proses pengunduhan sampai pelipatan tersebut, petani baru bisa menikmati hasil panen setelah selama empat bulan. Itupun jika harga lumayan, kalau harga tersandung jeblok, maka petani harus menimbun tembakau-tembakau kering yang sebelumnya sudah dilipat rapi dan terbungkus plastik.
Satu hal yang masih tergambar kuat dalam benak para anak-anak petani untuk mengenang waktu itu. Di setiap musim panen, anak-anak selalu riang gembira sebab mereka akan mendapatkan uang saku tambahan. Bukan karena orang tua mereka yang telah panen dan mendapatkan bagian dari hasil panen itu, bukan. Anak-anak bergembira karena memiliki kegiatan yang dapat menjadikan uang sakunya bertambah.
Sebelum daun-daun tembakau digulung dan dirajang, ada proses yang disebut dengan kobet atau sedet. Kobet adalah proses menghilangkan separuh gagang daun agar perajangan menjadi lebih mudah dan rasa tembakau lebih maksimal. Proses ini tidak mungkin dilakukan sendiri oleh petani, biasanya mereka menggunakan tenaga anak-anak, orang dewasa atau siapa pun yang berminat.
Daun-daun tembakau yang dipanen ditumpuk rapi dan diikat dalam ukuran yang sama, untuk didiamkan beberapa hari supaya menguning (matang) terlebih dulu. Kemudian, orang yang menghilangkan gagang daun tersebut akan diberi upah sesuai jumlah ikatan yang diperoleh. Dulu, satu ikat diberi harga antara 250 sampai 300 rupiah.
Dari proses panjang itu, terlihat bahwa menanam tembakau begitu melimpah kemanfaatannya. Dalam tahap tertentu, selalu melibatkan tonggo teparo untuk ikut serta mendapatkan rezeki. Mulai dari penghilangan gagang tembakau, sampai proses perajangan. Dalam proses perajangan juga menggunakan jasa orang lain setidaknya tiga orang: satu perajang dua yang lain sebagai pengeler (yang membeber rajangan tembakau di idik/ perabot penjemuran).
Kini budaya ekonomi potong gagang sudah berlalu. Petani sudah tidak begitu berminat dengan tembakau. Semenjak harga komoditas ini sempat turun drastis, mereka mencoba untuk menekuni bertanam tanaman baru yang dinilai tidak kalah menguntungkan, salah satunya adalah bawang merah.
Bagi masyarakat, bawang merah lebih dari sekadar pengganti tembakau. Selain proses tanamnya lebih cepat dan simpel, tanaman bumbu ini terus laku di pasaran sepanjang tahun. Pasalnya, setiap hari untuk urusan dapur semua orang tidak mungkin meninggalkan penyedap masakan dari tanah Persia tersebut.
Proses tumbuh bawang merah hingga panen terbilang tidak lama. Cukup dua bulan petani bisa menikmati hasilnya. Setelah itu, lahan bawang merah masih bisa digadu (ditanami bawang merah lagi) bahkan hingga tiga atau empat kali tanam. Jika harga bagus, dalam waktu tujuh bulan, cukup lah bagi petani dengan lahan seratus ru (1.406,25 M)untuk punya ongkos naik haji.
Di samping itu, bawang merah juga bisa menghidupkan lagi budaya ekonomi yang sempat hilang sebab vakumnya petani menanam tembakau. Dulu zaman tembakau ada kobet atau sedet, kini zaman bawang merah ada pritil brambang (memotongi daun bawang merah).
Di Dusun Ngrawan, terhitung mulai bulan Januari sampai bulan Agustus (bahkan kalsu mau bisa sampai sepanjang tahun), kegiatan ekonomi masyarakat untuk pritil brambang terus lumintu. Memang terkadang ada juga dalam satu minggu sepi pritilan sebab masih menunggu panen. Dan itu memang tergantung jumlah petani yang menanam, jika jumlahnya banyak, tiap hari masyarakat sekitar tidak sepi dari tawaran pritil brambang.
Ini menarik. Pada momen pritil brambang ini, masyarakat sekitar begitu terlihat guyub-rukun. Mereka kumpul-kumpul, ngobrol dan guyon sembari tangan kiri terus memotongkan daun bawang merah pada gunting yang dipegang tangan kanan. Dari jauh kadang terdengar gelagak tawa “gerrrr”, menggambarkan betapa gembiranya mereka bisa berkumpul bersama tetangga sambil menambah pemasukan ekonomi untuk kebutuhan sehari-hari.
Lumayan, per kilogram bawang merah mendapat upah 600 rupiah dan dalam satu hari setiap orang bisa mendapat 50 kilogram lebih. Sebuah pemasukan yang lebih dari sekadar cukup untuk menyangga kebutuhan dapur dan uang jajan anak-anak di desa.
Mengamati hal ini, salah seorang sesepuh dusun berkomentar, “Di antara panen-panen dari petani desa kita yang paling saya senangi adalah saat mereka panen bawang merah”.
” Kok bisa begitu, Mbah”, Jawab saya, penasaran.
“Lihatlah”, Kata beliau sambil menunjuk ke arah kerumunan orang pritil brambang, “memang satu petani yang menanam bawang, tapi yang panen bisa satu RT.”
Mendengar itu sejenak saya tercengang sambil ter iya iya. “O.. Iya.. ya.. “.
Memang ada benarnya, setiap kali petani bawang merah panen, tetangga minimal satu RT–kebanyakan ibu-ibu– berkumpul untuk ikut memotong daunnya. Dari situ secara tidak langsung mereka turut serta merasakan nikmat atas panen yang didapat oleh si petani.
“Coba perhatikan lagi, berapa banyak orang yang kesehariannya hanya sibuk dengan urusan rumah tangga, atau ibu-ibu sepuh yang tidak mampu jika harus ke sawah, kini berpeluang mendapat rezeki. Orang-orang yang momong bisa disambi. Anak-anak yang biasanya hanya bermain kini juga berkesempatan belajar merasakan bagaimana mencari uang. Lihatlah, betapa berkah panen bawang merah itu”, lanjut beliau, tenang.
Ya, komentar Si Mbah menyadarkan bahwa panen bawang merah membawa banyak berkah. Orang boleh jadi mendapatkan banyak untung, tapi belum tentu mendapat banyak berkah. Rentenir itu dapat untung, tetapi keuntungannya jauh dari berkah, sebab menjerat orang lain. Orang nilep duit itu juga untung, namun blas tidak akan bisa berkah sebab mengambil bukan haknya. Orang mengelola modal dan dapat duit lebih dari modal itu untung dan berkah, tapi lebih berkah lagi jika dari usahanya itu turut memberikan manfaat bagi orang banyak.
Konsep berkah berasal dari kata Arab “barakah”, mengandung arti “jalbul khair” atau sesuatu yang membawa kebaikan. Ada lagi yang memaknai “ziyadatul Khair”, tambahnya kebaikan. Pada intinya, dua makna itu dalam rel yang sama yakni kebaikan yang menyebar. Dus, petani bawang merah yang panen tentu mengandung kebaikan, sebab membawa manfaat untuk nafkah keluarga. Ditambah lagi jika panen itu bisa membuka rezeki bagi orang lain, tentu nilai kebaikan itu menjadi berlipat. Dengan demikian, berkahnya pun melimpah.
Sempat disinggung, beberapa pihak yang diuntungkan dari panen bawang merah. Pihak pihak itu lebih rinci adalah mulai keluarga petani itu sendiri, para buruh tani, tonggo teparo, para pengepul, para pengecer, konsumen yang menikmati olahan bawang merah, hingga peternak kambing yang mendapat daun bawang secara cuma-cuma untuk timbunan pakan, semua berpeluang mendapatkan rezeki. Tentang keberkahan ini mengingatkan sebuah nilai dari kisah Sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Dalam tutur bijaknya beliau berkata bahwa makan satu rantang bersama orang lain meskipun tidak terlalu kenyang lebih menyenangkan–baginya– daripada makan sendiri, lalu kenyang sendiri.
‘Ala kulli hal, untuk para petani, teruslah menanam, jangan menyerah! Semoga petani bawang merah semakin bertambah. Harga jualnya juga terkontrol bagus, sehingga aliran berkah terus saja melimpah ruah. [] Adib Hasani.
Ngrawan, 25 Juni 2020