Ada yang menarik dari Mbah Nun (Emha Ainun Najib). Sebuah pandangan tentang tiga tingkatan kesadaran kosmologis manusia terhadap Tuhan: insan, abdullah, khalifatullah. Ketiganya semacam pandangan hidup dan masing-masing ada yang–baik dengan sadar atau tidak– mengaplikasikan.
Dengan basis idealisme-religius Mbah Nun menunjukkan bahwa kualitas spiritualitas manusia modern mengalami degradasi. Artinya, dewasa ini ada kecenderungan bahwa kemajuan material berbanding terbalik dengan kemajuan spiritual. Modern yang disimbolkan dengan kemegahan teknologi, kecanggihan berfikir, dan kemudahan-kemudahan, diam-diam menyimpan krisis batin yang menjadikan manusia ibarat materi berjalan. Demikian ampang.
Modern nyatanya hanya berhenti pada level Insan. Insan atau insaniyah berarti manusia atau kemanusiaan. Sudah maklum, dari awal modern didedahkan oleh spirit utama humanisme (kemanusiaan) ini. Tepatnya, humanisme disertai kritik tajam terhadap metafisika buta termasuk otoritas agama. Spirit ini berusaha menjadikan manusia subjek penuh. Manusia didefinisikan sebagai spesies bebas-aktif yang dengan segala kemampuan yang dimiliki diyakini akan bisa menaklukkan dunia.
Sampai kini masih begitu terlihat, betapa berbagai ilmu digerakkan oleh spirit itu. Manusia menjadi eksistensi kuasa, bahkan ada yang tertawa lepas dengan segala kepongahan. Mereka menjelma bak tuhan-tuhan. Mereka lupa akan sangkan, lalu paran-nya pun hanya satu: “menjadi manusia maju (sukses)”.
Agaknya, begitu lah langgam utama modernitas. Porsi humanisme lebih dominan. Di ranah etika manusia menjadi sosok “percaya diri” yang bisa menemukan kebaikan pada dirinya sendiri (good in it self). Kearifan dinilai semata lahir dari sistem rasionalitas yang adil. Lalu pandangan yang mengusung keterlibatan Tuhan selalu dicurigai sebagai biang takhayul. Tuhan pun kian terkucil. Jemarinya yang membolak-balikkan hati dan menumbuhkan benih-benih cinta itu sudah tidak begitu direken.
Maka wajar, jika pada akhirnya di kalangan pentaklid buta modernisme itu memiliki spiritualitas gersang. Hidup hanya terpaku pada mekanisme-mekanisme materi. Rasionalitas terjerembab dalam konvensi logika bahasa. Dari arus ini, agama juga turut terbonsai. Dimensi spiritual yang tidak sesuai dengan rasionalitas terdistorsi sedemikian rupa, hingga yang tersisa pandangan-pandangan rigid dan pelit terhadap praktik keagamaan yang secara literal tidak tertera pada teks suci. Agama seolah hanya persoalan ritual, lalu kering dari esensi spiritual.
Hal ini akan berbeda jika paradigma abdullah dan khalifatullah yang berlaku. Di desa-desa, di kalangan orang-orang bawah, di antaranya para petani yang begitu dekat dengan alam, banyak yang berparadigma salah satu dari kedua model tersebut. Katakan saja petani yang paling modern, mereka tetap menghayati hakikat kehidupan sebagai abdullah.
Abdullah atau hamba Allah adalah sebuah keyakinan bahwa segala gerak hidup pada hakikatnya hanya untuk mengabdi (beribadah) kepada-Nya. Orang makan untuk ibadah, bekerja untuk ibadah, belajar untuk ibadah, bahkan tidur juga ibadah. Semua diniatkan untuk ibadah.
Petani bekerja di sawah juga ibadah, sebab mencari nafkah untuk keluarga adalah kewajiban. Mereka meyakini itu. Hingga gaya kepasrahannya ketika ditipu oleh pedagang hasil panen misalnya, mereka berkomentar, “Gusti Mboten Sare” (Tuhan tidak tidur).
Kesadaran abdullah merupakan kesadaran intim relasional antara hamba dengan Tuhan. Orang sering menyebut hubungan vertikal. Manusia di ujung bawah, dan Tuhan Di Atas. Akan tetapi, sebenarnya ini juga masih menyimpan problem. Abdullah memang tepat sebagai landasan spiritual namun pembagian vertikal-horizontal menjadikan seolah keduanya terpisah.
Keterpisahan itu tidak jarang mengakibatkan terjadinya benturan. Sering muncul pertanyaan, mana yang harus didahulukan, vertikal ataukah horizontal? Tentu, bagi kaum beriman akan memilih vertikal. Yang vertikal diperkuat sedang yang horizontal semakin tersisih. Wal hasil, munculah orang-orang yang hanya sibuk menjalin hubungan dengan Tuhan, lalu acuh dengan problem-problem horizontal.
Misalnya, di musim pandemi covid- 19 ini, muncul kasus beberapa tokoh agama tidak mengindahkan aturan pemerintah untuk sementara menunda segala kegiatan ibadah yang melibatkan banyak orang dan beresiko tidak terlaksananya protokol kesehatan. Alasan mereka bersikap seperti itu sebab iri dengan tempat-tempat umum seperti pasar dan pertokoan yang diperbolehkan tetap buka. “Pasar dan mall buka, lalu mengapa kegiatan masjid dibatasi?” Ada lagi yang berdalih, bahwa mereka tidak takut mati, tidak takut covid- 19, yang ditakuti hanya Allah, jadi apapun yang terjadi ibadah berjamaah tetap dilaksanakan seperti biasa, tidak perlu mengindahkan protokol kesehatan.
Kelompok atau tokoh yang bersikap demikian justru orang-orang yang memiliki “rasa percaya diri” tinggi akan penghambaan kepada Tuhan (abdullah). Ketika protokol kesehatan dirasa mengusik mereka dalam melakukan hubungan vertikal, maka mereka langsung bereaksi. Dalam kesadaran mereka, budaya horizontal tidak boleh mengganggu budaya vertikal. Dari sini seolah muncul pandangan bahwa budaya vertikal adalah agama dan budaya horizontal bukan agama. Sehingga, kesan yang muncul para pengikut agama hanya sibuk membanggakan diri sebagai abdullah dengan bukti ketaatan yang kaku.
Maka, dalam konsep Islam –sebagaimana diungkapkan Mbah Nun– sebenarnya ada landasan etik yang lebih universal setelah abdullah, yaitu khalifatullah. Kesadaran abdullah sebagai dasar bentuk keimanan sangat perlu, namun kematangan abdullah hingga meningkat pada kesadaran khalifatullah juga tidak kalah penting. Khalifatullah secara literal berarti wakil Allah. Seorang abdullah yang menghayati peran kehambaan akan memahami bahwa dialah ciptaan paling sempurna dan atas kelebihan itu praktis memiliki potensi kesadaran tanggungjawab untuk turut serta dalam hamemayu hayuning bawana (menjaga kelestarian alam) .
Dalam kesadaran demikian, orang tidak hanya akan sibuk dengan membangun kedekatan dengan Tuhan secara ritual, akan tetapi juga membangun basis spiritual sebagai sumber perasaan tanggungjawab untuk menebarkan kebajikan kepada setiap makhluk. Dari sini, akhirnya muncul karakter semakin vertikal berarti semakin horizontal, pun sebaliknya semakin horizontal juga semakin vertikal.
Meminjam bahasa Gus Mus, seorang khalifatullah adalah orang yang memiliki “kesalehan total”, yakni kesalehan ritual satu keping sisi mata uang dengan kesalehan sosial. Bahwa bentuk panghambaan kepada Tuhan tidak hanya berwujud ritual-ritual tetapi juga bisa aksi-aksi sosial. Salat Jumat itu ibadah, adapun–di musim pandemi ini–salat Jumat dengan mematuhi protokol kesehatan juga bentuk ibadah yang lain, sebab perlu diingat, menjaga diri dan orang lain termasuk diperintahkan oleh agama.
Dalam konteks pertanian, seorang petani yang berhenti pada kesadaran abdullah akan cukup menanam semata untuk ibadah mencari nafkah. Akan tetapi, mereka yang menjadi khalifatullah kesadarannya akan terus aktif mengembangkan sikap dan cara bertani yang paling baik dan benar. Pemikiran mereka dalam menanam di samping mencari nafkah juga penuh pertimbangan akan penjagaan terhadap alam. Selain mencari untung untuk diri sendiri sekaligus diharapkan juga bisa menguntungkan bagi lingkungan yang lebih luas.
Dari sini menarik untuk mengungkap kembali tumpukan tradisi lokal yang sebagian telah terkubur arus zaman. Katakanlah budaya metri (slametan/ Kenduri) di bidang pertanian, saat ini tinggal bayangan. Dulu orang mau menanam ada ritualnya, dalam setiap proses penumbuhan ada ritual juga, lalu ketika panen ada ritual lagi. Artinya, dalam setiap proses bertani tidak bisa lepas dari dimensi spiritual.
Disamping itu, ritual-ritual yang dilakukan juga syarat akan simbol kesadaran kosmologis yang menunjukkan sikap harmoni terhadap alam. Dalam ritual metri misalnya, salah satu bait doa yang dipanjatkan berbunyi:
Jenang abrit niat kajatipun metri Biyung Bumi, Bapa Bumi, bumi ingkang kaambah, kaidek, kailes, bumi ingkang kesengkeran, ingkang kejenggeran, bumi slamet, bumi aeng. Bumi sognya panglebure beka sengkala, bumi suci kang paring rezeki, sedaya dipun kawuningani, mugi (nama pemilik hajat) tansaha diparingi kawilujengan. Wilujenga serintene, sedalune, selami-lamine. Wilujenga sak tanem tuwuhe, sak raja gadahane, sak obah musike. Wilujenga sak pengandap dumugi sak penduwure. Nyuwun tambahing pangestu dumateng para bapak, para rawuh, miwah sepuh anem sedoyo!. (Bubur merah niat hajatnya metri ibu bumi bapak bumi, bumi yang diambah, yang diinjak, bumi tampat menaruh. Bumi sognya melebur segala bencana dan marabahaya. Bumi suci yang memberi rezeki. Semuanya diperhatikan dan dihormati, semoga (pemilik hajat) diberikan keselamatan….)
Yang menarik disoroti dari penggalan ujub (doa khas dalam tradisi slametan yang diucapkan dengan Bahasa Jawa) tersebut adalah adanya pelafalan penghormatan kepada bumi. Bumi dipahami sebagai orang tua sendiri (Ibu Bumi, Bapa Bumi), dan dihormati dengan simbol jenang abrit (bubur merah). Hal ini menandakan bahwa tradisi slametan yang banyak dilakukan di pedesaan mengandung muatan kesadaran kosmologis kuat. Manusia memang makhluk yang paling sempurna, namun sebenarnya ia tidak berdaya tanpa makhluk-makhluk lain. Pun makhluk lain –atas Kehendak Sang Pencipta– bisa menjadikan manusia tidak berdaya. Maka, memang sudah semestinya manusia menjalin tata krama yang harmonis dengan alam.
Meskipun kesadaran seperti itu semakin terkikis, di daerah pedesaan masih ditemukan juga pihak yang ngugemi idealisme tersebut. Dalam sebuah perbincangan hangat, penulis sempat mendapat cerita bahwa salah seorang penggarap sawah mendapat pesan agar tidak meracun hama apa pun oleh pemilik sawah. Jika memang hama meludeskan tanaman agar diusir saja, tidak perlu dibunuh.
Hal ini tentu menarik. Di tengah uforia kompetisi pemaksimalan hasil panen orang tersebut justru memiliki pandangan yang berbalik seratus delapan puluh derajat. Alasan enggan membunuh hama adalah ia memahami bahwa hama juga makhluk Allah yang sebenarnya juga berhak hidup, dan membunuh makhluk Allah secara membabi buta akan bisa merusak keseimbangan alam. Ia begitu yakin bahwa Allah tetap akan memberikan rezeki dengan tanpa membunuh makhluk yang lain.
Meskipun ini mudah saja disanggah dengan alasan: orang sakit yang ingin tetap hidup, mau tidak mau juga harus membunuh makhluk lain bernama virus, bakteri, dan sejenisnya. Bahwa membunuh demi keselamatan pribadi itu sah-sah saja. Demikian halnya petani membunuh hama tentu juga wajar untuk keselamatan tanaman, sebagai ikhtiar agar hasil rezeki maksimal. Akan tetapi, yang menjadi titik poin tulisan ini bukan perkara bunuh membunuh itu, yang menjadi titik poin adalah kesadaran menjaga keseimbangan alam dengan perasaan penuh tanggungjawab atas penghambaan terhadap Tuhan.
Orang yang berkesadaran demikian selalu memiliki kewaspadaan dalam setiap langkah. Ia menjelma sebagai seorang wakil Tuhan yang mengayomi lingkungan sekitar. Posisi sebagai wakil Tuhan tersebut menjadikannya: tidak sembrono dan tidak sewenang-wenang, atau dalam bahasa agama sering disebut dengan “bertakwa”. Sebab bagaimanapun ia bukan lah yang tertinggi, Yang Tertinggi hanyalah Tuhan. Ia bukan penguasa, seolah-olah merasa paling berhak menguasai alam, sehingga merasa segala yang menjadi miliknya bisa dieksploitasi sedemikian rupa.
Maka, petani metri sebenarnya adalah simbol ketakwaan itu sendiri. Metri dari akar kata “fitri” berarti bersih (sebagaimana titahnya), berimbuhan “me” menjadi mem-fitri, lalu agar lebih mudah pelafalannya menjadi metri, maksudnya, membersihkan diri agar kembali sebagaimana titah yang diemban. Istilah metri digunakan untuk menyebut jenis tradisi kenduri (slametan) yang berkaitan dengan kehidupan. Di dalam ritual itu ada berbagai penghormatan, mulai penghormatan kepada orang suci (Para Nabi, wali, dan lain-lain), kepada para leluhur, kepada bumi dan alam, kepada unsur-unsur rohani yang ada pada diri sendiri, semuanya dihormati dengan kesadaran fitrah, semata-mata agar mendapatkan ridha Allah sehingga keselamatan hakiki bisa terwujud.
Dewasa ini, memang tradisi petani metri sudah semakin hilang. Kesadaran metri berganti dengan sedekah biasa, dengan penghayatan sebatas untuk solidaritas sosial. Meskipun demikian, bukan berarti gerak khalifatullah itu mati. Saat ini di berbagai komunitas petani sedang meretas sebuah kesadaran pertanian yang bernuansa kosmologis. Hal ini terbukti dari adanya usaha menggagas sistem bertani dengan pendekatan ramah lingkungan. Tawaran konsep mulai pertanian organik, agro ekologi, sampai “zero budget natural farming” telah bermunculan.
Namun, sekali lagi, dalam bayangan penulis, apapun gerakan itu, harus benar-benar berasaskan spirit khalifatullah. Jika lepas dari itu, agaknya masih mengkhawatirkan akan terjatuh pada kepentingan kapital yang ujungnya sama saja yakni, eksploitasi alam dan eksploitasi petani. Maka dari itu, agaknya lebih tepat jika gerakan-gerakan itu diimbangi dengan spirit metri: mengembalikan diri pada fitrah khilafah (ke-khalifah-an). Bukan khilafah yang dipromosikan sebagai sistem politik itu, namun khilafah sebagai kesadaran fungsi umat manusia dihadapan Tuhan.
Simoga bisa menjadi renungan…
Selamat Hari Tani 2020!