Dalam pandangan umum, mendengar istilah “petani” saja sudah terkesan nelangsa apa lagi “buruh tani”, ndahneo.
Namun, pelan-pelan mari kita pertanyakan. Benarkah semua sisi dari buruh tani terkesan seperti itu? Tidak adakah sisi lain yang bisa meningkatkan rasa optimis bagi profesi tersebut? sekiranya yang membawa kesan yang lebih adem di telinga, yang lebih membanggakan.
Memang, dalam membaca masyarakat acap kali kita lebih mengikuti arus opini utama ketimbang mengiyakan realitas yang ada. Hal ini lah yang mengakibatkan kita “gebyah uyah”. Semua dikesankan sama.
Padahal, faktor perspektif, situasi kekinian dan ke-disini-an sangat berpengaruh terhadap perbedaan realitas. Maka dari itu, kita perlu menggunakan kacamata yang lebih spesifik dan realistis, supaya bisa memotret fenomena masyarakat dengan hasil gambar yang fokus, tajam, dan tanpa permak kamera cantik.
Katakanlah tentang buruh tani tersebut, sudah lama mereka dianggap kaum paling inferior. Berada di bawah strata petani yang narasi inferiornya setiap hari dibicarakan. Padahal tidak melulu demikian.
Sebenarnya, istilah profesi “buruh tani” Itu sendiri masih perlu diperjelas lagi keberadaannya. Di Desa Tunggangri, ada banyak buruh tani, namun yang murni berprofesi hanya buruh tani tidak ada. Kebanyakan para buruh tani sekaligus juga petani. Artinya, buruh tani relatif menjadi sampingan.
Namun begitu, memang ada struktur tertentu yang membentuk relasi keberadaan petani dan buruh tani tersebut. Di Desa Tunggangri, dari segi profesionalitasnya, petani dapat digolongkan menjadi tiga tipe.
Pertama, Tani Utun (petani konvensional) yaitu petani yang pola pertaniannya menggunakan gaya lama, monoton dan kurang bahkan acuh terhadap update ilmu pertanian. Petani tipe ini adalah yang sering mengumandangkan, “halah, sing penting nandur” (halah yang penting menanam).
Kedua, Tani Jèrih (petani penakut), yaitu para petani yang sebenarnya tertarik dengan pola pertanian maju, diam-diam belajar, namun kurang punya keberanian sebab problem takut gagal. Biasanya, yang memiliki karakter seperti ini adalah petani yang kurang modal atau memiliki modal pas-pasan, sehingga takut ambil resiko.
Adapun Ketiga, Tani Tènanan (profesional), yaitu petani yang memiliki semangat terus maju. Petani jenis ini selalu update pengetahuan, lebih berani nekat, juga punya strategi dan ilmu bertanam yang mumpuni. Petani yang seperti ini secara ekonomi umumnya lebih sukses jika dibandingkan dua yang lain.
Tani Tènanan sebenarnya masih dapat dibedakan lagi menjadi dua. Tani Tènanan hortikultura dan non hortikultura. Dan di Desa Tunggangri saat ini sedang berkembang Tani Tènanan bidang yang pertama (hortikultura).
Lalu, di antara tiga tipe petani utama tersebut, mereka yang biasa mengambil sambilan sebagai buruh tani adalah Tani Utun dan Tani Jèrih. Keduanya memiliki budaya menanam yang relatif santai. Komoditas yang diproduk biasanya tanaman yang bermodal murah dan perawatannya ringan sehingga tidak perlu setiap hari pergi ke ladang atau sawah. Sehingga dengan kondisi waktu yang longgar itu, bisa dimanfaatkan untuk bekerja sebagai buruh tani.
Sampai saat ini, memang buruh tani di Desa Tunggangri belum bisa menjadi profesi yang pasti. Belum pasti setiap hari ada kerjaan, pun belum pasti juga upahnya.
Akan tetapi penting untuk disoroti, di Desa Tunggangri belakangan terjadi peningkatan permintaan jasa buruh tani. Seiring meningkatnya jumlah Tani Tènanan hortikultura yang relatif membutuhkan tenaga pengerjaan, menjadikan tenaga buruh tani juga makin dibutuhkan.
Artinya, dapat dibaca bahwa pertanian Desa Tunggangri saat ini sebenarnya sedang menuju harmoni ekonomi. Meningkatnya kaum Tani Tènanan menandakan berkurangnya kaum Tani Jèrih dan Tani Utun. Lalu, dengan berkurangnya dua model petani tersebut menjadikan berkurang pula tenaga buruh tani.
Lalu, dari sini ada sinyal potensial bahwa kedepan buruh tani akan semakin dibutuhkan, sebab jumlah buruh berkurang sedangkan peluang permintaan terus bertambah. Jika benar terjadi demikian, maka tentu kepastian pekerjaan buruh tani akan semakin nyata. Setidaknya, kepastian bahwa mereka setiap hari mendapat penghasilan.
Walaupun upah yang mereka terima variatif–tergantung siapa (petani) yang order– namun kontinuitas kerjaan menjadikan ekonomi mereka akan lebih stabil.
Katakanlah dalam satu waktu kerja harian, pukul 06:00 sampai 11:30 rata-rata upah yang didapat buruh tani laki-laki Rp. 60.000 (untuk perempuan ada selisih Rp. 5.000 sampai Rp. 10.000 lebih murah). Jika itu rutin, maka dalam satu bulan mereka mendapatkan akumulasi Rp. 1.800.000. Sebuah nominal yang sebenarnya tergolong lumayan untuk menunjang biaya hidup di desa.
Ya, meskipun jika diukur dengan UMK Tulungagung tahun 2021 masih selisih Rp. 210.000, saya masih yakin jika dalam satu bulan kerja ada beberapa kali lemburan, nominal itu akan terlampaui. Apa lagi permintaan terhadap jasa mereka terus meninggi, pastinya juga akan terjadi harmonisasi terhadap standar upah yang mereka terima.
Kalau sudah begitu, buruh tani sebagai profesi utama akan benar-benar nyata dan semakin diminati. Sisa dari Kaum Tani Jèrih yang sudah menjadi Tani Tènanan, akan bisa bertahan di sektor buruh tani. Demikian halnya dengan Tani Utun yang berminat di bidang ini juga akan bisa semakin kerasan. []Adib Hasani