“Para petani boleh atau bahkan harus pintar terkait ilmu menanam. Akan tetapi, jika itu tidak diimbangi dengan pola manajerial yang bagus, ibarat kendaraan ia akan berjalan dengan arah tidak tentu”.
Saya lebih suka menyebut ini dengan dinamika budaya tani. Ya, jika anda bertandang ke desa Tunggangri dan memahami perkembangan budaya pertaniannya, anda akan menemukan realitas bahwa tani bukanlah melulu profesi dengan kualitas ekonomi lesu dan kurang menarik.
Beberapa kali dalam tulisan-tulisan sebelumnya sudah disinggung bahwa Desa Tunggangri dengan segala potensi pertaniannya sedang berdialektika menuju peningkatan kualitas profesionalitas. Trilogi masyarakat tani (Tani Utun, Tani Jerih, Tani Tenanan) desa ini sedang berada pada kutub dialektis aktif menuju realitas pertanian yang lebih progresif.
Mas Odi dapat dikatakan sebagai salah satu model dari kulminasi bentuk dialektika itu. Sama dengan Mas Pri dan Mas Asro ia dibesarkan dari tradisi agraria Dusun Ngrawan yang penuh liku pahit manis. Ia anak petani, ikut bertani dan makin mantab menjadikan tani sebagai profesi.
Sempat ngicip bekerja di luar negeri, Mas Odi menganggap itu sebagai penjajakan pengalaman. Dalam renungan perbandingannya, ia berkesimpulan bahwa jika kita bisa memanfaatkan waktu di rumah dengan baik, sebenarnya kita masih mampu berpenghasilan seperti PMI, bahkan melampauinya.
Ukuran PMI yang dikatakan Mas Odi adalah PMI di negara Malaysia, sebab mayoritas PMI Desa Tunggangri memang berada di sana. Ia mengatakan yang menarik dari bekerja di luar negeri adalah, pertama, kurs mata uang lebih tinggi. Kedua, sistem kerjanya buruh, artinya dapat upah pasti. Ketiga, pekerjaan selalu ada. Keempat, karena sistem buruh, kita dipaksa disiplin untuk mengikuti jam kerja.
Keempat itu semua dinilai bertentangan dengan pola ekonomi di kampung halaman. Di kampung, pekerjaan harian yang pasti ada adalah tani. Adapun bertani penghasilan tidak pasti. Uang yang diterima petani pun selain tidak pasti juga tidak tetap. Jadwal kerja tergantung pada diri sendiri, sehingga tidak ada pemicu disiplin kerja dan cenderung ada banyak waktu yang dijadikan hanya untuk leha-leha.
Di atas pertentangan itu, Mas Odi tetap menilai, sebenarnya kunci utama kerja baik di luar negeri maupun di dalam negeri adalah dua, disiplin kerja dan totalitas. Jika kita mampu memaksa diri untuk berdisiplin kerja minimal seperti saat bekerja di luar negeri, menurut kalkulasi Mas Odi, sebenarnya kita mampu memiliki penghasilan seperti bekerja di luar negeri.
Dan teori ini pun terbukti. Mas Takul, salah seorang rekan Mas Odi mencoba mempraktikkan itu lebih dulu. Sampai saat ini ia belum pernah menjadi PMI, namun mampu membuktikan bahwa kelas ekonominya tidak kalah dengan mereka yang bekerja di luar negeri.
Mas Takul memutuskan fokus berumahtangga di usia yang relatif muda. Dengan peluang pekerjaan yang ada ia bekerja dengan penuh disiplin. Bercocok tanam, beternak sapi, berdagang, buruh tani, hingga buruh bangunan ia lakoni. Hasilnya, ia mampu menghidupi keluarga bahkan mampu membangun rumah sebelum usia genap 30 tahun.
Tentu ini istimewa, sebab umumnya pada waktu itu, nyaris tidak ada orang yang mampu membangun rumah hanya dengan mengandalkan hasil kerja di kampung halaman, terlebih di usia yang masih begitu muda.
Demikian halnya dengan Mas Odi, pasca diminta pulang orang tuanya dari perantauan, ia pun merintis usaha mandiri. Kebetulan di lingkungan Dusun Ngrawan tempat ia tinggal sedang berkembang budaya tani bawang merah. Ia melihat adanya peluang profit yang lumayan di bidang ini.
Dengan prinsip disiplin kerja dan totalitas itu, ia pun cepat menguasai pola pertanian bawang merah. Hasilnya, ia mampu meraup uang hingga ratusan juta rupiah. Bahkan, ia sekarang menjadi referensi petani lain dalam mengelola usaha tani. Tidak hanya petani yang junior tetapi mereka yang senior pun juga ikut belajar kepadanya.
Semenjak covid-19 mewabah, dan para PMI yang pulang sulit kembali, Mas Odi juga mampu tampil menjadi model petani profesional (tani tenanan) bagi mereka untuk belajar bertani. Ia demikian terbuka terkait berbagi pengetahuan dan pengalaman. Dan yang khas dari Mas Odi ini adalah strategi-strateginya dalam memecahkan problem manajemen bertani.
Misalnya, terkait strategi pemanfaatan waktu para petani melon, ia berkomentar bahwa bertani melon jika berhasil memang mampu mengantongi banyak rupiah. Namun, sayangnya di antara mereka banyak yang masih mengandalkan skill bertani melonnya saja, dan menutup diri untuk menanam yang lain.
Bertanam melon paling banter dua kali setahun antara bulan September sampai bulan Desember. Itu pun di lokasi tanah yang berbeda. Nah, biasanya setelah sukses di musim melon tersebut petani meliburkan diri. Artinya, di luar bulan tanam melon petani banyak yang memilih bersantai sambil menikmati laba hasil tanamnya.
Menurut Mas Odi, ini sebenarnya yang perlu diubah. Petani adalah profesi dengan potensi ketidakpastian tinggi. Menurutnya, jika petani ingin mendapatkan pemasukan berkelanjutan, ia harus mampu berinovasi dengan variasi tanaman. Katakanlah, para petani melon tentu akan lebih bisa lumintu peluang pemasukannya jika di luar musim tanam melon juga masih memproduksi komoditas lain.
***
Atas fakta-fakta di atas, dari sudut pandang penulis, Mas Odi sebenarnya dapat dijadikan salah satu simbol penting untuk mempelajari pola perkembangan ekonomi pertanian di Desa Tunggangri. Jika di lihat, Mas Odi sebenarnya adalah sosok petani yang sama dengan petani profesional lain. Akan tetapi, titik poin yang menjadikannya penting diperhitungkan adalah karakter keberaniannya beranjak dari cara berpikir maenstream ke cara pikir yang lebih progresif.
Ya, ia adalah seorang petani yang begitu percaya diri melangkah dari corak pikir pragmatik-proletariat menjadi manajerial-kapitalistik.
Cara berpikir pragmatik-proletariat adalah gaya berpikir konvensional masyarakat buruh dengan pola lingkaran: bekerja-gaji-konsumsi-menabung; ya cukup itu. Cara berpikir ekonomi semacam ini sudah begitu lama bercokol di masyarakat Desa Tunggangri. Hal ini salah satunya terlihat dari trend budaya menjadi PMI itu. Orang bekerja ke luar negeri, setelah dapat uang, pulang, lalu jika tabungan dirasa habis, ia kembali lagi ke luar negeri, dan begitu seterusnya.
Adapun pola pikir manajerial-kapitalistik berbeda dengan itu. Ia lebih mengedepankan bagaimana ia mampu mendayagunakan akal pikiran untuk mencari dan menyesuaikan pola-pola strategis dalam mengembangkan modal yang dimiliki sehingga bisa mendapatkan profit yang berlebih. Pola yang kedua ini lah yang sedang berkembang pada diri Mas Odi.
Memang pola itu sebenarnya juga turut berkembang pada petani yang lain. Bahkan setiap petani sebenarnya juga menggunakan cara pikir demikian, hanya saja belum banyak yang menyadari bahwa pola itu penting, sehingga penekanannya lemah. Mas Odi dalam hal ini terlihat yang paling menonjol menyuarakan gagasan-gagasan yang muncul dari cara berpikir tersebut.
Artinya, sebenarnya hampir sama dengan yang diperankan oleh para petani melon di Dusun Bangunsari, Mas Odi secara alami turut membangun pemberdayaan petani di bidang cara berpikir manajerial ini. Di saat banyak petani profesional lebih fokus memikirkan metode menanam, Mas Odi dengan karakter alaminya menyuarakan dan menegaskan bahwa mengerti tentang manajemen pertanian juga tidak kalah penting.
Para petani boleh atau bahkan harus pintar terkait ilmu menanam. Akan tetapi, jika itu tidak diimbangi dengan pola manajerial yang bagus, ibarat kendaraan ia akan berjalan dengan arah tidak tentu.
Ala kulli hal, memang menarik gaya pemikiran Mas Odi ini. []Adib Hasani