Jika semua orang berpikir hanya menggunakan rumus “jika P maka harus Q”, dunia akan bergelimpangan korban bunuh diri. Kenyataan tidak sesempit itu, Ferguso. Sesekali perlu juga mengamati takdir Si Bucin kaum alay itu. Mereka mati-matian demi “egoisme” cinta, katanya. Kalau bukan dia tidak mau; tapi tidak jarang saat takdir tiba yang disanding di pelaminan malah orang lain. Lho, Kan.

Ini artinya takdir memang tidak selalu berbanding lurus dengan ekspektasi. Jika p tidak harus maka q , boleh jadi maka b, maka  j, maka n dan seterusnya. Logika tasawufnya begini, urusan “jika” adalah urusan hamba, lalu urusan “maka” itu hak preogratif Tuhan. Boleh saja lah berekspektasi tentang “maka” tapi jangan nemen-nemeni, sebab kecewa itu sakit. Lagi pula Tuhan itu “Maha Sak Karepe Dewe“, lalu kité mau apé, ya tho!

Hal yang disinggung di atas kiranya selaras dengan apa yang menjadi kesadaran Mas Asro. Ia adalah sosok pemuda keren asli warga Desa Tunggangri. Ganteng, pastilah, namun yang lebih penting disoroti kemampuannya mengikuti trend millenial tanpa harus kemalan meninggalkan kesadaran agraria warisan leluhur. Ia S.Pd tapi tetap srègèp ngarét, srègèp macul.

Dalam satu kesempatan, penulis sempat bertanya, “sampean kan sudah punya ijazah sebagai pendidik, dan sekarang di berbagai lembaga pendidikan sedang dibutuhkan pendidik dengan kualifikasi ijazah yang sampean miliki. Apa sampean tidak minat?”

Jawabnya, “untuk saat ini, saya masih ingin menekuni bidang pertanian, Kang.”

“Lho, bertani sambil mengajar kan bisa, menurutku sampean juga sangat mampu menjadi guru.  Ini mumpung juga bidang ijazahmu itu ada peluang besar menjadi PNS lho.!” Kataku sedikit memberi iming-iming.

“Entahlah, Kang, saya masih bersemangat bertani bawang merah. Saya belum begitu bersemangat  menjadi PNS.” Jawabnya teguh.

Semua orang tentu tahu, bahwa menjadi petani itu serba tidak pasti. Pasalnya, hasil usaha yang dilakukan sangat tergantung dengan kondisi alam serta pasar. Bisa jadi tanaman di usia muda bagus, namun di pertengahan diserang hama kemudian tumpes, ludes. Boleh jadi komoditas yang ditanam pada saat proses pertumbuhan harganya tinggi, namun ketika panen harga nyungsep. Artinya, menjadi petani tidak hanya harus bermodal uang yang besar, tetapi juga jiwa yang besar.

Berbeda halnya dengan PNS, mereka bekerja dengan tugas dan waktu yang pasti, lalu gajinya pun juga pasti. Tidak ada kiranya rasa nas-nis seperti petani yang masih menerka-nerka hasil panen berapa, untung apa rugi, lalu jika untung cukup apa tidak untuk memenuhi kebutuhan hidup dan modal menanam lagi.

Entah mereka berendah hati atau bagaimana, di kalangan petani ketika berbicara penghasilannya, tidak sedikit yang berkomentar, “memang ketika panen, petani seolah mendapat uang banyak, tapi perlu diketahui, setelah itu mereka perlu modal menanam lagi, dan baru sisanya dicukup-cukupkan untuk kebutuhan hidup”. Barangkali pernyataan itu memang ada benarnya untuk petani tertentu. Akan tetapi ada fakta lain, di kalangan petani kini sudah bisa menapaki taraf ekonomi lebih dari sekadar pas-pasan. Mendirikan rumah, membeli motor mewah, mobil, ongkos naik haji dan lain-lain adalah fakta yang bisa ditemui di kalangan petani dewasa ini.

Dulu–setidaknya di Desa Tunggangri–, profesi petani belum bisa menjamin kebutuhan hidup. Jangankan untuk membuat rumah, membeli mobil dan sebagainya, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja masih pas-pasan. Dalam rangka mencukupi pengeluaran yang lebih besar, biasa mereka bersabar dengan beternak “rajakaya” (hewan berkaki empat seperti: kambing, sapi, kerbau). Hasil dari ternak kambing seringkali digunakan untuk pengeluaran bulanan dan tahunan seperti: biaya sekolah, biaya melahirkan, biaya slametan, dan sebagainya. Adapun sapi untuk biaya kebutuhan yang lebih besar seperti, biaya pernikahan, biaya membangun atau renovasi rumah, biaya membeli motor, dan sebagainya.

Lalu, bagi mereka yang tidak mempunyai modal cukup atau punya modal tapi tidak puas dengan penghasilan bekerja di dalam negeri biasanya mengambil solusi menjadi PMI (Pekerja Migran Indonesia–dulu TKI).

Belakangan, semacam ada angin baru di dunia pertanian Desa Tunggangri. Tidak sedikit PMI yang habis masa kerjanya pulang dan sukses menekuni dunia pertanian. Kesimpulan sementara, hal ini disebabkan adanya transfer ilmu pertanian yang lebih cepat daripada zaman sebelumnya.

Baca; MAS PRI DAN ILMU NABI SULAIMAN

Dulu orang menanam hanya bermodalkan pengetahuan konvensional. Kini sudah berubah. Para petani perlahan tapi pasti bergerak ke cara-cara yang lebih modern. Pengetahuan mereka juga berkembang cepat. Dulu pemahaman mereka tentang pupuk misalnya, hanya tahu tentang jika menanam ini pupuknya memakai merek ini. Sekarang sudah lebih rinci lagi, mereka mampu menganalisis misalnya,  tanaman A memerlukan kadar Nitrogen berapa, Kalium berapa, Phospor berapa, dan seterusnya. Jadi, sekarang tidak hanya sebut merek pupuk, tetapi sudah menganalisis kandungan kimianya.

Apakah mereka pernah duduk di bangku sekolah pertanian? Dijamin, mayoritas tidak.  Hal ini tidak lain karena memang semangat belajar mereka yang tinggi dan didukung dengan teknologi canggih internet. Dari dunia maya internet mereka ber-transfer ilmu dengan cepat. Untuk memudahkan proses transfer tersebut, mereka juga membentuk komunitas-komunitas di Medsos untuk saling tukar ilmu dan pengalaman. Ya, mereka adalah petani mandiri yang dicerdaskan oleh zaman. Mereka petani millenial yang kebanyakan didominasi para pemuda.

Sepertinya Mas Asro memang sedang lebih tertarik menjadi bagian dari generasi petani millenial ini. Ia tidak mengharuskan dirinya menjadi seorang guru profesional meskipun memiliki kemampuan mengajar bagus dan berijazah S.Pd. “Saya saat ini, juga sudah jadi Guru lho kang, mengajar di Madin (Madrasah Diniyah), kan juga guru, hehe.” Katanya santai.

Pemuda Pemilik akun youtube ASRORI Wongtani tersebut memang paham betul tentang jalan rezeki. Baginya, Tuhan meletakkan pintu rezeki tidak hanya terletak pada ijazah, tapi bisa dari mana saja. Jiwa mudanya mendorong minat besar dalam bertani, maka tidak heran jika ia memilih Tani sebagai profesi dari pada peluang yang lain.

Kemampuan yang dimiliki untuk dikembangkan menjadi profesi sebenarnya tidak hanya petani dan menjadi guru. Ia juga pintar memasak, dan menjadi pemangkas rambut. Ia sempat berjualan makanan ringan dan laku, namun karena kesibukannya di dunia pertanian, sekarang itu ditinggalkan. Tentang kemampuan menjadi pemangkas rambut, ia sudah dipercaya beberapa temannya untuk memangkas rambur mereka. Dapat dikatakan ia punya pelanggan tetap, hanya saja ia tidak mau menjadikan skillnya ini sebagai profesi yang menghasilkan uang.

‘Ala kulli hal, Mas Asro adalah anak kandung dari budaya zaman old dan zaman now. Ia mengada dengan berbagai potensi. Yang lebih menarik, ia tidak terkungkung dengan arus tertentu. Di saat semua orang stress tentang pendaftaran CPNS memperjuangkan agar ijazahnya laku, ia malah santai bersama ulat-ulat yang memakan daun bawang merah tanamanya.

Bagaimanapun memang ia masih muda dan akan terus berkembang. Boleh jadi kelak takdir membawanya ke profesi yang lain. Namun saat ini yang patut dicatat, ia adalah pemuda merdeka. Ia menjadi pemuda yang bebas berjalan di atas kehendaknya sendiri. Ia tahu betul tentang keputusannya, dan siap menanggung segala resikonya.

Salam buat Mas Asro – Mas Asro yang lain…… (Admin)..

Bagaimana reaksi anda mengenai artikel ini ?