Satu hal yang diam-diam perlu dikembangkan di masyarakat adalah model “masyarakat literatif”. Hal ini bukan hanya sekadar desain pembangunan masa depan, namun memang zaman sudah menuntut ke arah sana. “Masyarakat literatif” tidak lain adalah model masyarakat yang memiliki karakter semangat belajar atas segala sesuatu yang diterima, dialami dan dihadapi. Apapun itu. Bisa belajar berkaitan dengan profesi, tentang lingkungan, dan yang paling penting tentang informasi yang terus berseliweran baik yang benar maupun hoax. Untuk yang terakhir ini perlu mengupayakan kemampuan baca masyarakat dari membaca untuk mempercayai ke membaca untuk mengkritisi.

Memang harus diakui, di desa-desa tempat akar rumput berada, budaya membaca fenomena maupun berita secara kritis sudah ada. Sekali pun hoax muncul berkali-kali di media, masyarakat desa–khususnya di Desa Tunggangri– tetap saja tenang, sirep dan tidak mudah terpengaruh. Mengapa bisa demikian? Kesimpulan sementara, ada beberapa sebab:

Pertama, masyarakat pedesaan memiliki budaya berkumpul dan bertukar pikiran yang kuat. Hal ini bisa ditemukan dari tetap eksisnya jamaah keagamaan ataupun komunitas-komunitas tertentu, seperti jamaah yasin-tahlil, jamaah shalawat, komunitas petani, komunitas kesenian, komunitas arisan, dan lain-lain. Khusus di Tulungagung ada budaya “ngopi” (berkumpul sambil minum kopi) yang menjadi hobi masyarakat berbagai kalangan. Dengan budaya kumpul yang kuat ini, mampu membentuk masyarakat menjadi orang-orang gaul. Mereka sering bertukar pikiran dengan orang lain sehingga memiliki karakter berpikir terbuka, dan tidak mudah kaget dengan perbedaan pandangan serta beragamnya jenis informasi.

Kedua, masyarakat desa adalah masyarakat yang berpengalaman. Terutama dalam hal politik, mereka sudah banyak mengambil pengalaman dari sejarah, semisal kasus G 30 S PKI, peristiwa 1998, kasus politik lokal dalam pemilihan kepala desa dan sebagainya. Dari sini mereka memiliki sikap tersendiri tentang retorika-retorika politik yang dibangun oleh para elit. Mereka memiliki semacam pandangan untuk tidak mudah percaya kepada isu-isu yang bermuatan politis. Kepada siapa harus percaya dan otoritas mana yang lebih legitim, mereka juga mampu memilah-milah.

Ketiga, masyarakat akar rumput desa memiliki kualitas kepercayaannya pada nilai serta norma luhur yang dari dulu sudah berlaku di masyarakat. Nilai-nilai seperti kerukunan, toleransi, kebersamaan, saling menghormati, dan sebagainya masih menjadi pandangan hidup yang melekat kuat. Ini dapat dikatakan sebagai prinsip masyarakat akar rumput yang masih sulit ditembus. Sebuah contoh nyata adalah, meskipun dalam akhir-akhir ini muncul beberapa peristiwa yang membawa-bawa nama agama, masyarakat desa mayoritas tidak terpancing. Hal ini bukan karena kualitas keagamaan mereka rendah. Akan tetapi, mereka mampu memahami bahwa isu-isu politis yang mengatasnamakan agama tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur yang menjadi “maenstreem”.

Patut disyukuri, ketiga faktor tersebut masih dirasa kuat meliputi masyarakat desa–khususnya Desa Tunggangri. Artinya, desa sebenarnya justru memiliki modal dasar untuk menjadi masyarakat literatif. Bagaimanapun faktor-faktor tersebut penting dilestarikan dan dikembangkan lagi untuk meneguhkan karakter masyarakat desa literatif yang lebih kuat. Dan di sini Perpustakaan Desa memiliki peran penting. Setidaknya beberapa hal yang perlu digarap oleh Perpuatakaan Desa dalam mengembangkan literasi.

Pertama, komunitas-komunitas literasi yang ada didesa masih sedikit, belum fokus, dan rapuh, maka dari itu Perpustakaan Desa bertugas selain memfasilitasi juga memotivasi muncul dan lestarinya komunitas-komunitas tertentu. Misalnya: komunitas petani, komunitas peternak kambing, komunitas ekonomi kreatif, komunitas pemuda anti hoax, komunitas jomblo pengangguran dan sebagainya.

Kedua, agar komunitas-komunitas di masyarakat tidak mudah bubar, penting bagi Perpustakaan mengadakan forum-forum, seperti forum diskusi, konsultasi, pelatihan, dan sebagainya.

Ketiga, agar kesadaran literatif masyarakat semakin kuat, penting juga kiranya, Perpustakaan Desa mengenalkan kepada masyarakat tentang pentingnya literasi diera sekarang.

Keempat, sebagaimana dituliskan oleh Mas Yanwar Pribadi dalam akun Facebooknya, bahwa tantangan hoax akan terus ada di Indonesia dan ini darurat, sebab hal itu memang ada yang mengupayakan. Untuk itu, Perpustakaan Desa termasuk memiliki tanggungjawab untuk memberikan motivasi agar masyarakat terus kritis terhadap berbagai informasi.

Ibaratkan orang memanah, Perpustakaan Desa adalah busur, progam-programnya adalah anak panah, sedangkan yang dibidik darinya adalah, kesadaran masyarakat yang kritis terhadap segala sesuatu, mulai dari kritis terhadap dirisendiri, lingkungan sekitarnya, orang lain termasuk kritis terhadap informasi yang didapat.

Bagaimana reaksi anda mengenai artikel ini ?