Kita tentu bisa merasakan bahwa alam kian berbeda. Akhir-akhir ini musim seperti ndak kenal mangsa. Iklim pun tidak tentu. Saat musim hujan, banjir melanda. Saat musim panas, kekeringan menderu.

Populasi hewan tertentu tiba-tiba naik. Tikus ada di mana-mana. Jenis serangga dan jamur merebak. Dan yang sering menjadi pikiran para petani adalah, ketika mereka menyerang tanaman dan sulit dikendalikan.

Petani Desa Tunggangri–baik yang Utun, Megek maupun yang Tenanan–mengalami problem ini. Sebagai contoh kongkret di tahun 2019 sampai dengan 2020 (awal pandemi Covid-19 di Indonesia), Petani Desa Tunggangri termasuk yang mendapatkan berkah dari panen bawang merah sepanjang tahun dengan harga di atas rata-rata.

Ya, barangkali sudah karakter umum manusia, ketika sebuah usaha dipandang menguntungkan, usaha itu akan diulang-ulang. Demikian juga yang dilakukan oleh petani bawang merah desa ini. Tanpa kenal masa mereka terus-menerus menanam bawang hingga titik tertentu mereka mendapati problem hama yang sulit ditangani.

Tentu mereka sempat bingung: mengapa hama menjadi lebih ganas dan sulit dikendalikan? Karena pertimbangan resiko gagal panen, mereka pun terpaksa sejenak menghentikan penanaman. Lalu, selang beberapa bulan ada yang memulai tanam dan hasilnya bawang merah bisa tumbuh dengan baik. Wabah hama mulai terkendali.

Dari fenomena tersebut, kebanyakan petani Desa Tunggangri menjadi semakin meyakini bahwa salah satu problem pertanian bisa muncul dari kegiatan tanam yang tidak seimbang. Dalam satu lokasi ternyata tidak baik jika terus menerus ditanami satu jenis tanaman sepanjang tahun. Khususnya tanaman yang rentan hama.

Logikanya sederhana. Seiring penerusan penanaman jenis tertentu maka populasi hama tertentu pun akan semakin membiak dan lebih kuat. Pada akhirnya ini akan menyulitkan petani.

Di samping itu, pestisida kimiawi (non-organik) yang digunakan juga berpotensi merusak ekosistem sehingga muncul ketidakseimbangan hayati.

Berawal pengalaman-pengalaman seperti itu, faktor ekologi kini tampak semakin menjadi pertimbangan serius di kalangan petani Tunggangri. Memang ekologi secara konsep utuh belum bisa sepenuhnya merasuki kesadaran jamak petani. Mereka cukup memahami bahwa alam memiliki watak keseimbangan, dan dalam usaha tani, itu menjadi faktor penting yang harus disikapi.

Dalam hal ini, sekilas dapat kita tangkap bahwa petani seolah menjadi pihak yang terlibat langsung atas problem kerusakan lingkungan. Melalui kerjanya, secara sistematis lingkungan sawah dan sekitarnya tereksploitasi. Belum lagi tindakan pembukaan hutan di area pegunungan untuk lahan pertanian, tentu ini juga termasuk biang terjadinya erosi.

Namun sebentar dulu. Dari pandangan sekilas itu, tentu tidak bisa kita begitu saja menuduh para petani sebagai subjek atas problem ekologi. Meskipun Clifford Geertz pernah mengatakan kerusakan ekosistem dimulai sejak manusia bertani dengan cara menetap, tetap tidak pas jika petani dituduh sebagai subjek utama.

Petani mulai sejak zaman mereka bertani secara menetap sampai sekarang tidak bisa dilepaskan dari struktur yang melingkupinya. Segala upaya mereka tidak bisa dilepaskan dari kehidupan umat manusia itu sendiri. Lalu dari sini muncullah kepentingan ekonomi, sehingga negara harus mengambil peran untuk menata urusan ini.

Artinya, dari sudut pandang yang lebih luas, ranah ini sebenarnya adalah ranah negara, tidak hanya petani saja. Justru petani sebenarnya hanya menjadi pion-pion yang harus bergerak atas kebijakan dan sistem yang dibuat negara. Terlebih pertanian yang tidak memiliki benteng tradisi yang kuat, akan lebih mudah hanyut dalam gerak kebijakan yang dibuat penguasa.

Dalam sejarah pertanian kita, kebijakan yang sering dikritik membawa dampak kerusakan ekosistem adalah Revolusi Hijau.  Kebijakan ini gencar dilakukan pada tahun1950-1980 di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Revolusi hijau merupakan sebutan untuk perubahan fundamental di ranah pertanian sebab penggunaan teknologi budidaya. Tujuan dari revolusi ini adalah tercapainya swasembada pangan.

Indonesia memang sempat berhasil mewujudkan tujuan tersebut. Akan tetapi, muncul dampak lingkungan akibat penggunaan pestisida dan pupuk kimia yang tidak terkontrol. Lingkungan pertanian seperti kecanduan dengan teknologi yang petani tidak bisa membuat sendiri itu. Di samping itu, hasil produksi pertanian juga dinilai membawa residu yang tidak baik bagi kesehatan.

Atas problem tersebut, sebagai kritik realitas masa lalu, saat ini sedang menguat isu pertanian organik. Isu ini tidak terjadi di Indonesia saja, namun juga di kancah global. Istilah-istilah seperti green industri, blue industri, pertanian berkelanjutan dan sebagainya semakin sering muncul.

Di Indonesia ada UU No. 22 Tahun 2019 yang turut memantapkan model pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Undang-undang ini membawa semangat bahwa pertanian tidak hanya semata untuk kepentingan ekonomi, namun juga untuk kepentingan sosial, budaya, lingkungan hingga kearifan lokal.

Atas tren atau kebijakan yang dibuat oleh negara, selama ini petani di Desa Tunggangri merupakan pihak yang selalu mengikuti. Mereka adalah pion setia dari sistem yang ada. Ketika zaman pembangunan Orde Baru menerapkan teknologi sebagai pendukung pertanian, pola pertanian mereka juga berubah dari yang kental dengan ritual menjadi pertanian yang efektif dan produktif.

Lalu, untuk saat ini juga sudah tampak adanya langkah petani Desa Tunggangri menuju pertanian organik. Khususnya di kalangan petani milenial, mereka mulai menerapkan teknologi agensi hayati untuk menekan aplikasi bahan kimia.

Melalui gerakan pertanian organik ini, kesadaran ekologis petani juga semakin terbentuk. Bahkan di antara mereka sudah menyadari bahwa kegiatan bertani yang dijalani selama ini membawa dampak tidak baik pada lingkungan, dan selayaknya dikendalikan.

Namun, hidup nyatanya tidak cukup dengan melaksanakan kesadaran etis itu. Di hadapan kebutuhan ekonomi, para petani tidak memiliki daya apa-apa. Kebutuhan ekonomi harus tetap terpenuhi, dan jalan paling terang untuk pemenuhan kebutuhan tersebut untuk saat ini adalah pola yang merusak lingkungan itu. Ya, memang dilematis.

Pada akhirnya, yang tampak dari kesadaran ekologis di kalangan Petani Desa Tunggangri adalah pengutamaan pertimbangan ekonomis ketimbang pertimbangan etis. Maksudnya, pengetahuannya tentang ekologi cukup digunakan sebagai instrumen untuk memaksimalkan produksi dengan orientasi profit daripada untuk tujuan penjagaan lingkungan. Wal hasil, terkait penyikapan problem ekologi, gerak petani Tunggangri masih belum bisa dikatakan “pro aktif”.

Dan agaknya, demikian juga kita dapat membaca gerak dari kebijakan Negara kita. Secara undang-undang, kebijakan untuk pelestarian lingkungan tidaklah kurang-kurang. Namun demikian, yang nyata dari pelaksanaannya masih banyak tikungan-tikungan kepentingan. Entah kepentingan itu bermuara kepada pribadi oknum entah untuk kepentingan masyarakat umum.

Wallahu a’lam bi umurikum. []Adib Hasani.

Bagaimana reaksi anda mengenai artikel ini ?