Mekar Jaya Tani (MJT) tidak lain dan tidak bukan adalah adik kandung dari TMB (Tani Muda Bangunsari). Kelompok tani muda ini berdiri dari dinamika sosial petani setelah TMB terbukti bermanfaat bagi petani muda. Meskipun terinspirasi dari pergerakan TMB, MJT tidak semata-mata mengikuti semua pola dan program TMB. Ia tetap hadir sebagai kelompok yang memiliki warna sendiri dan berbeda dengan “dulur sepuh” nya itu.
Jika TMB hadir dengan konsepsi dan visi pertanian yang merdeka mandiri dan terintegrasi, MJT memulai pergerakan dengan autokritik terhadap kesadaran, kehendak dan sikap, dari petani dan kelompok Tani itu sendiri. MJT memandang ada problem mendasar yang terjadi pada kelompok-kelompok masyarakat yang bergerak di pemberdayaan ekonomi, entah itu kelompok tani maupun kelompok lain.
Problem itu dapat dilihat dari fenomena begitu banyak kelompok usaha bersama yang setelah berdiri, lalu tidak bisa mempertahankan konsistensi dari eksistensinya. Dalam istilah Jawa, sikap seperti ini disebut dengan “mung herog-herog asem“. Sikap yang menggebu-gebu di awal lalu semakin lama semakin pudar, redup dan akhirnya mati. (Barangkali dari fenomena ini juga para motivator bisnis dengan nada pesimis mengatakan “Jangan merintis usaha bersama, rintislah usaha mandiri, lalu jalinlah kerjasama”).
Atas fenomena tersebut, MJT berupaya untuk memaklumi dan menyadari sedari awal. MJT tidak mau menjadi organisasi yang mengambil program yang tidak kompatibel dengan arus kesadaran dan kehendak masyarakat. MJT yang masih kecil akan ngoyo jika harus tidak sejalan dengan kehendak masyarakat yang lebih besar.
Maka dari itu, MJT tidak pernah memaksa anggotanya untuk repot berdisiplin dalam program kelompok, khususnya program yang menjurus pada usaha bersama. Misalnya, ketika mendapat program Pekarangan Pangan Lestari (P2L) dari pemerintah, muncul kesepakatan bahwa program ini dikerjakan bersama-sama, namun jika pada waktunya tidak mampu dilaksanakan bersama, maka akan dipegang satu orang dengan sistem bagi hasil antara pengelola dengan kelompok.
Dan demikianlah yang terjadi. Program tersebut pada awalnya digarap bersama, lalu satu persatu dari pengelola merasa tidak sanggup karena alasan sibuk dengan pekerjaan masing-masing, akhirnya sesuai kesepakatan, program dihandel oleh satu orang dengan sistem bagi hasil.
Maka, dari pilihan sikap ini lah MJT belum bisa seperti TMB yang menentukan patokan visi-misi yang jelas. Atas realitas yang ada, MJT merasa kelompoknya masih berada pada tahap pre visi-misi. Memang MJT melaksanakan program, namun program yang dilaksanakan hanya untuk simbol eksistensi kelompok dan alat untuk jalinan komunikasi antar para petani. Untuk itu, kepentingan kelompok saat ini adalah memahami dan mencari rumusan pola kerjasama yang tepat baik antara para petani dengan kelompok atau bahkan antara intern pengurus kelompok itu sendiri.
Memang, program yang tidak kompatibel dengan arus kesadaran masyarakat akan memunculkan dialektika. Akan tetapi, dialektika dengan daya antitesis yang lemah tidak akan mampu membawa perubahan yang berarti. Bagi MJT, upaya yang perlu diutamakan untuk kelompok yang baru berdiri adalah memberi pengaruh pada arus kesadaran masyarakat itu sendiri.
Memang dari sini MJT terkesan takut melangkah. Namun, MJT memandang ada hal mendasar yang perlu dilakukan sebelum visi misi dirumuskan. Memahami watak dan kehendak positif dari masyarakat petani yang bisa dijalinkerjasamakan lebih penting didahulukan sebelum merumuskan visi dan misi.
***
Apa yang disikapi oleh MJT itu dapat dimaklumi. Teori bird eyes mengatakan bahwa setidaknya ada tiga unsur penting yang ada di balik sebuah peristiwa yaitu pola, struktur dan model mental. Program, atau visi dan misi apa pun yang dibuat oleh komunitas maupun organisasi tanpa adanya landasan model mental yang sesuai tidak akan terlaksana dengan baik. Model mental inilah yang membentuk kesadaran, kehendak serta sikap kolektif.
Dan sebagaimana yang dirasakan oleh MJT, masyarakat petani kita belum memiliki model mental yang sesuai untuk mengembangkan rintisan usaha bersama.
Masyarakat petani kita masih terjebak pada kesadaran pragmatisme individualistik. Dalam kaitannya dengan kelompok tani, kesadaran model ini terejawantahkan pada sikap yang menuntut kelompok untuk memberi manfaat baginya, tanpa berpikir bagaimana ia berkontribusi pada kelompok. Karena ego individialnya yang hanya ingin mendapat manfaat begitu kuat, muncul juga sikap iri ketika melihat pengurus mendapatkan sedikit manfaat dari kelompok. Dan yang lebih parah muncul juga rasa curiga pada pengurus kelompok melakukan kecurangan dan sebagainya.
Model mental seperti ini, bukan hal khusus di masyarakat. Ini tidak lain merupakan mental yang hidup dalam struktur kapitalisme lanjut–utamanya dalam lingkup negara dengan pemimpin yang korup. Jika model mental masyarakat petani terus seperti itu, tentu kelompok tidak akan bisa berjalan dengan baik.
Maka, selama kesadaran itu belum berubah, bagi MJT masih terlalu muluk-muluk merumuskan visi dan misi–yang terstruktur dan formal–selain visi mencairkan kebekuan kesadaran petani dengan misi terus menjalin komunikasi yang memadai antar petani. Hasilnya, memang agak aneh. MJT menjadi lebih seperti forum komunikasi ketimbang organisasi yang memiliki perencanaan program kerja yang terencana rapi dan konkret.
Tapi ya tidak apa-apa lah. Dalam pandangan Jurgen Habermas, MJT justru berada pada jalur tindakan rasional komunikatif, sebuah kerja rasionalisasi yang berlandaskan komunikasi intersubjektif untuk menjalin kesalingpahaman. Kebalikan dari itu adalah tindak rasional bertujuan, yang memiliki karakter komunikasi satu arah dengan watak “memaksa” demi mencapai tujuan tertentu.
Diantara kedua tindak rasional tersebut, tentu yang pertama yang bisa luwes diterapkan di masyarakat akar rumput. Dan sekali lagi, MJT memilih jalan ini. Lalu akankah MJT bisa menjalin kesalingpahaman antara masyarakat petani ? Kita lihat saja perkambangannya. [Adib Hasani]