Masyarakat Jawa sampai saat ini masih saja menyematkan gelar “rajakaya” pada kambing, domba, kerbau, dan sapi. Sebuah predikat yang tampaknya abadi. Bahkan sebagian masyarakat meyakini keempat ternak tersebut sebagai kunci kemakmuran. Meskipun faktanya tidak selalu demikian, tampak atas keyakinan itu mereka merasa ayem ketika ada rajakaya di kandangnya.

Saat tulisan ini diketik, ternak rajakaya sedang amblek di pasaran. Ini imbas dari wabah penyakit Mulut dan Kuku (PMK) serta lato-lato pada binatang berkaki empat itu (khususnya sapi). Kegiatan jual-beli di pasar lumpuh, distribusi ternak pun tersendat.

Meskipun kondisi pasar demikian, tetap tidak menjadikan masyarakat gupuh. Semangat mereka untuk merumput tetap kukuh. Mereka seolah tidak peduli dengan isu harga ternak yang masih saja kurang layak. Dalam benak mereka, ini perkara biasa. Penurunan harga tidak akan lama, terus maksimalkan pemeliharaan ternak, sambil menunggu kondisi membaik seperti semula.

“Rajakaya tetaplah rajakaya”, demikian kata salah seorang petani. “Kesehatan seorang raja bisa saja menurun, namun suatu saat ia akan kembali pulih untuk memberi manfaat”. Ya, masyarakat masih percaya bahwa nilai keterjaminan ekonomi yang melekat pada rajakaya tidak ada matinya.

Atas realitas tersebut, ada juga yang berpandangan: mungkin rajakaya sudah disabda oleh para leluhur untuk menjadi benteng ekonomi masyarakat. Seperti sudah manjadi takdir alam hewan-hewan itu menjadi barang investasi bagi kaum tani pedesaan.

Namun tentu, bukan sikap demikian yang akan  kita ambil. Jika semua sebab disimpulkan pada takdir, konsep “rajakaya” menjadi tidak patut dipertanyakan untuk dikupas secara lebih dalam.

***

Bagaimanapun sebuah fenomena sosial  tidak bisa dilepaskan dari struktur sosio kultural yang meliputi. Sebuah menu babi guling yang dijual secara konvensional di lingkungan pesantren misalnya, tentu tidak akan laku karena bagi para santri daging babi tergolong hewan yang haram dimakan. Lain halnya jika itu dijual di lingkungan yang tidak menganggap haram, tentu nilai jual lebih tinggi.

Artinya, unsur kultural yang mewujud pada keyakinan masyarakat sangat mempengaruhi keterjaminan nilai ekonomi babi guling. Sebagaimana disuarakan para ilmuwan sosial, keyakinan masyarakat sangat mempengaruhi minat. Keyakinan merupakan kondisi mental yang mempengaruhi seseorang dalam berselera dan menentukan pilihan. Dalam spektrum yang lebih luas, keyakinan juga sering disebut sebagai ideologi.

Di samping keyakinan, habitat budaya juga tidak bisa dinafikan. Dua hal inilah yang terus saling berjalin kelindan: keyakinan masyarakat membentuk habitat budaya, lalu habitat budaya juga turut membentuk keyakinan anggota masyarakat. Dialektika antar keduanya membentuk lingkaran ekosistem yang mempengaruhi lestari atau tidaknya suatu tradisi.

Nilai keabadian status rajakaya, agaknya juga tidak bisa dilepaskan dari pola ekosistem seperti itu.

Kita tentu tahu, hewan-hewan rajakaya merupakan hewan yang dekat dengan kebutuhan konsumsi masyarakat. Khususnya sapi dan kambing, keduanya tergolong menjadi menu elit dan utama dalam hidangan masyarakat. Di warung-warung makan menu dengan bahan daging kambing dan sapi lebih mahal ketimbang daging lainnya. Antara  soto daging ayam dengan soto daging sapi, tentu lebih mahal soto daging sapi. Antara sate ayam dan sate kambing tentu lebih mahal sate kambing.

Banyak peneliti yang menelisik sebab posisi harga daging sapi lebih tinggi dari pada daging lain, atau harga daging kambing lebih mahal dari daging ayam. Ada yang menyimpulkan karena suplainya yang memang lebih sedikit. Ada yang berpendapat karena ongkos beternak sapi lebih mahal. Ada yang menilai dari segi cita rasa, bagi lidah orang Indonesia daging sapi lebih enak daripada yang lain. Barangkali demikian jika dilihat dari dimensi selera dan ekonomi.

Namun jika dilihat dari segi kultural, terdapat fenomena yang tidak kalah menarik. Sapi, kambing, domba dan kerbau merupakan hewan ritual. Maksudnya, hewan yang menjadi bagian dari sarana keimanan masyarakat karena menjadi instrumen penting dalam ritual keagamaan. Misalnya, pada hari raya qurban dalam Islam diperintahkan menyembelih hewan rajakaya tersebut. Kemudian ada ritual aqiqah untuk kelahiran bayi yang menganjurkan menyembelih kambing. Ada lagi tradisi larung sesaji dengan persembahan menghanyutkan kepala kerbau.

Atas landasan kultur tersebut, konsumsi daging rajakaya selalu tinggi.  pada momen Idul Adha tahun ini (2023) umat Islam Indonesia menyembelih sekitar 646.736 sapi/kerbau dan 1.202.649 kamping/ domba. Adapun pasokan sapi/kerbau dalam negeri per idul adha tahun ini  854.552 dan kambing/domba 1.884.264.  Memang masih surplus, namun angka kebutuhan hewan qurban hingga 1,8 juta merupakan angka yang tinggi. Belum lagi budaya kenduri yang masih semarak dilakukan di masyarakat pedesaan, ini tentu juga berpengaruh pada tingginya demand.

***

Dari fenomena ini, dapat dipahami bahwa sebuah ekosistem ekonomi akan kuat jika didukung dengan budaya masyarakat. Konsep “rajakaya” mengajarkan pentingnya pembangunan basis budaya untuk pertahanan atau bahkan menciptakan ekosistem ekonomi. Tanpa basis budaya yang merdeka dan kuat, sulit kiranya membangun cita-cita ekonomi yang berdikari.

Dengan demikian, kita juga dapat memahami bahwa istilah “rajakaya” bukanlah sekadar tanda untuk menyebut hewan dengan jenis tertentu. Ternyata juga bukan sabda orang sakti masa lalu. Nama “rajakaya” muncul dari rahim perasaan masyarakat atas manfaat dan fungsinya sebagai benteng ekonomi. Dalam istilah sesederhana “rajakaya” terdapat makna yang agung. Ia adalah wujud dari ekosistem ekonomi yang genuin dari kultur kita sendiri. []Adib Hasani.

Bagaimana reaksi anda mengenai artikel ini ?