Kini masyarakat sudah banyak yang hanyut dengan “kepercayaan baru”. Ya, meskipun tidak bisa dipukul rata, tapi perubahan itu terasa. Kepercayaan itu bahkan mampu menggeser tradisi lama. Mekanismenya mirip doktrin Pandemi Covid-19. Mau tidak mau orang dihimbau menghindari jabat tangan, mau tidak mau orang menjaga jarak satu sama lain, mau tidak mau orang harus terbiasa slempek dengan memakai masker. Demi kesehatan bersama, orang diedukasi untuk memasuki wajah budaya hidup baru (new normal).

Hanya, yang menjadi pembeda covid- 19 datang tiba-tiba, sedangkan kepercayaan ini sudah lama pelan-pelan merangkul kesadaran. Ia lebih bersifat ideologis-otoritatif, bukan medis-otoritatif. Selain itu, Covid- 19 kuasanya terstruktur jelas, dan kepercayaan ini memiliki struktur halus, bahkan lebih halus dari corona virus itu sendiri.

Mari kita amati dengan seksama. Yang paling sederhana, dulu di desa Tunggangri dalam hal pertanian sarat akan nuansa gotong-royong. Saat musim ponjo tembakau misalnya, biasa tetangga ikut sambatan (gotong-royong) meski tidak diundang. Sistemnya seperti mbecek (memberi amplop berisi uang di acara hajatan), mendengar tetangga mau tanam, langsung ikut saja membantu. Lalu pihak yang dibantu kapan hari membalas budi dengan membantu pula pada kegiatan yang sama.

Namun, itu dulu. Sekarang sudah berbeda. Semangat gotong-royong masih ada, hanya saja itu berlaku di ranah tertentu. Urusan yang bersifat umum dan bersama, masih berlaku gotong-royong. Tetangga punya hajat, juga gotong-royong (Jawa: rewang). Adapun terkait ranah usaha pribadi yang bersifat profit oriented, gotong-royong nyaris hilang. Termasuk dalam urusan usaha tani.

Dalam proses penanaman hingga panen apa pun, saat ini tidak ada gotong-royong. Semua menjadi nafsi-nafsi. Jika butuh bantuan tenaga, seorang petani harus memastikan punya kocek yang cukup. Hal ini menunjukkan bahwa di kalangan petani, uang memiliki nilai tukar yang lebih memuaskan daripada jasa.

Belakangan, petani menjadi pekewuh (tidak enak hati) jika minta tolong kepada orang lain dan tidak memberi upah. Demikian halnya orang yang mau membantu petani lain, turut pekewuh karena takut dikira mencari bayaran. Semenjak rasa saling pekewuh itu muncul, semenjak itu pula gotong-royong di bidang usaha tani hilang.

Mengapa bisa pekewuh begitu?

Jawaban singkat dan termudah, ya memang sudah zamannya. Layaknya new normal, uang ibarat masker, kemana-mana harus dipakai. Apakah tidak boleh selain masker, misal udeng untuk penutup mulut, mestinya boleh, tapi masker diyakini lebih tepat guna dan bergaya. Demikian halnya penggunaan uang sebagai ganti jasa, itu diyakini lebih tepat guna, lebih memuaskan dan membebaskan kedua belah pihak dari pekewuh-pekewuh.

Masker karena kuasa fungsi medis akan pandemi covid- 19 lalu uang sebab kuasa fungsinya sebagai nilai tukar. Ini lah titik kuncinya. Bagaimanapun uang memiliki fungsi tukar lebih banyak daripada barang atau jasa yang lain. Seolah apa pun bisa ditukar dengan uang. Maka wajar jika diam-diam uang mampu membentuk keyakinan dalam benak masyarakat sebagai sesuatu yang menggiurkan.

Bahkan, dalam taraf tertentu, bagi orang-orang tertentu, ketundukan dan keyakinan terhadap uang tersebut mencapai tingkat “Pendewaan”. Uang seolah menjadi segala-galanya. Pada suatu kasus penulis sempat dikata-katai bodoh oleh beberapa orang sebab menemukan dompet dan mengembalikan begitu saja tanpa meminta uang. Lho,–penulis sempat tercengang– kok bisa tindakan begitu dianggap bodoh, sejak kapan mendapat uang menjadi indikator kepintaran? Pada kasus lain, dan memang sudah tidak bisa ditutup-tutupi lagi, berapa banyak orang yang bisa dibeli suaranya dalam Pemilu. Salah seorang peneliti di lembaga survei ternama sempat meneliti ini dan memunculkan buku, “Kuasa Uang” yang di dalamnya menjelaskan bahwa justru orang-orang yang menjadi anggota partai (memiliki ID), mereka yang paling mendamba kucuran uang dari calon yang diusung. Lalu, contoh lain dari fenomena yang paling receh, berapa banyak kalangan jomblo-jomblo itu yang menunda menikah sebab minder atau takut koceknya tidak bisa memuaskan pasangan. Begitulah realitasnya, uang mampu menggeser prinsip-prinsip penting dalam hidup.

Sangking ampuhnya, kuasa uang bisa mengelabuhi orang sehingga menjadi tidak tepat dalam menyikapi suatu hal. Di ranah kehidupan petani, ada juga yang punya rasa takut kalah saing dengan petani lain. Oknum tertentu diam-diam belajar bertani kepada yang ahli, lalu ketika ilmu itu diterapkan dan berhasil, ia enggan berbagi kepada yang lain.

Ia menganggap jika ilmu itu diketahui orang banyak, maka semua orang akan menanam, dan setelah itu penawaran akan bertambah sehingga harga menjadi turun. Baginya, hukum ekonomi, “jika penawaran naik, permintaan turun dan jika penawaran turun permintaan naik”, adalah dalil suci, hukum saklek dan harga mati. Padahal hukum itu bersifat umum, dalam arti naiknya penawaran masih terbuka kemungkinan dari banyak faktor. Tidak hanya bergantung pada faktor jumlah penanam yang meningkat, penawaran bisa jadi naik sebab proses distribusi yang tersendat, atau bisa juga dari konsumen yang tidak berminat, dan lain-lain.

Dari perspektif yang demikian, ilmu pertanian dipandang bak rahasia dapur yang hanya bisa diwariskan secara turun temurun. Padahal itu sama sekali tidak tepat. Alam menuntut sikap yang lain. Problem pertanian nyatanya terus berkembang. Hama yang muncul musim ini dan hama yang muncul musim selanjutnya sering kali tidak sama, atau boleh jadi sama, namun pestisida yang digunakan menuntut berbeda. Kandungan tanah wilayah tertentu pada musim ini dan kandungan pada musim selanjutnya bisa jadi berbeda, sehingga tanaman dulu bagus sekarang buruk. Maka, dari sini petani tidak bisa diam-diam menyimpan ilmu dan pengalamannya sendiri.

Alam mengajarkan bahwa kebutuhan partner untuk berdiskusi tentang ilmu menanam lebih penting. Orang yang tertutup dan menikmati keberhasilan menanamnya sendiri, pada suatu saat akan terkucil dan bingung karena dampak perkembangan problem menanam tersebut. Sebaliknya orang-orang yang terbuka justru akan berpeluang lebih cepat menemukan solusi dan lebih cepat memahami perkembangan ilmu-ilmu pertanian. Jika toh, misalnya penawaran memang benar-benar naik sebab menyebarnya ilmu pertanian tertentu, keterbukaan terhadap ilmu justru akan membuka peluang tersendiri untuk mereka lebih bisa berimprovisasi dengan bertanam jenis tanaman  yang lain.

Saat ini para petani Desa Tunggangri sudah berhijrah dari ketidaktepatan sikap seperti itu. Atas kesadaran tentang kebutuhan akan partner dalam mencari solusi dari problem-problem pertanian, mereka kembali ke khiththah petani dengan cara berpikir lebih dengan pendekatan naturalistik daripada pola pragmatik bisnis yang saklek. Bagi mereka, bisnis itu cukup di momen tawar menawar dengan pembeli hasil panen saja. Di luar itu, mereka lebih mengandalkan sikap berjuang sepenuh hati ngopeni supaya tanaman bisa tumbuh dengan baik.

Memang saat ini petani tidak gotong-royong lagi dalam hal proses menanam sebab faktor rekayasa kuasa uang yang mewujud pada pekewuh-pekewuh itu. Akan tetapi, perlu dicatat, mereka terus gotong-royong di bidang ilmu dan pengalaman. Kondisi lapangan yang tidak cukup diselesaikan dengan satu teori mengajarkan mereka pada persatuan untuk mencari solusi bersama. Di berbagai kesempatan mereka sering saling bertukar pikiran. Entah di ladang tempat mereka bekerja, di perkumpulan-perkumpulan, di warung kopi, atau bahkan di Medsos, setiap ada kesempatan mereka berdiskusi tentang problem-problem pertanian yang dihadapi.

Semua terbuka satu sama lain. Di antara mereka yang menguasai ilmu dan berpengalaman tidak ada misalnya yang membuat acara seminar berbayar agar mendapat uang tambahan. Mereka begitu menyadari bahwa sikap menutup-nutupi ilmu justru hanya akan menjadikan dirinya kerdil. Di samping itu, ilmu pertanian memang tidak bisa sepenuhnya ditarik kesimpulan secara umum. Faktor lokalitas sangat mempengaruhi penerapan ilmu. Maka bagi petani, teori saja tidak cukup, harus ditunjang pengalaman dengan praktek langsung.

*****

Di tengah “kuasa uang” yang terus menggeliat, bagaimanapun kesadaran petani yang paling mendasar tetaplah bersifat naturalistik. Bahwa arus kuat “kepercayaan baru” berupa Pendewaan terhadap uang juga turut mengisi pertimbangan-pertimbangan mereka, iya. Akan tetapi, agaknya itu hanyalah bagian dari seni kehidupan yang bersifat permukaan.

Bagaimanapun mereka adalah “murid kandung” alam. Selama petani terus menanam dan hati serta pikiran terbuka terhadap pengalaman, alam akan terus memberikan bimbingan-bimbingan yang bermakna. [] Adib Hasani

Bagaimana reaksi anda mengenai artikel ini ?