Awas, tulisan ini sedikit mengungkit masa lalu. Konon, Bung Karno pernah berkata bahwa Pancasila bukan murni pemikirannya sendiri, melainkan hasil dari penggalian secara mendalam atas prinsip-prinsip luhur yang sudah mempribadi oleh seluruh masyarakat di berbagai pelosok Nusantara ini. Kemudian, jika pun Pancasila itu harus diperas, muncullah sari patinya yaitu “gotong-royong”.

Bukan apa-apa, dalam tulisan ini saya hanya ingin mengkaji eksistensi gotong-royong di dalam masyarakat petani. Lebih khusus lagi di ranah kerja-kerja bertani mereka. Sempat dengar bahwa semangat ini telah kabur kanginan oleh zaman yang demikian prakmatik. Masyarakat semakin nafsi-nafsi, dan segala sesuatu serba ditakar dengan logika untung rugi. Logika: kerja ini menghasilkan uang apa tidak.

Wah, Benarkah demikian? jika benar, artinya masyarakat semakin jauh dari inti Pancasila itu sendiri, dong. Semacam ada gejala kultural untuk auto anti pancasila. Wah, ini kan bahaya, padahal kan NKRI harus harga mati. Pancasila harus jaya.

Sebentar dulu, jangan gupuh. Kita pakai logika saja, jika Bung Karno telah dawuh bahwa “gotong royong” itu kepribadian dasar Bangsa ini, masa mudah hilang bagitu saja. Bung Karno tidak mungkin ngawur. Seharusnya, sesuatu yang sudah mempribadi itu akan menjadi nilai yang abadi. Nah, untuk mencari pelipur gelisah itu, mari kita bedah lika-liku gotong –royong dengan berfokus pada kelompok kecil masyarakat petani di desa saya, Desa Tunggangri.

***

Dewasa ini, ada dua dusun di Desa Tunggangri yang paling kentara mengalami perkembangan signifikan di ranah pertanian. Dusun Ngrawan dan Dusun Bangunsari. Bidang yang berkembang itu khususnya adalah hortikultura, atau–gampangnya–bidang pertanian yang menanam tanaman kebun dengan sistem yang lebih modern. Banyak yang dapat dijadikan contoh terkait tanaman ini, seperti: cabai, tomat, bawang putih, bawang merah, melon, semangka, dan lain-lain. Adapun yang menjadi  primadona di dua dusun tersebut ada dua: bawang merah dan melon.

Dusun Ngrawan, dusun  yang memiliki karakter lahan tegalan ini dinilai lebih mampu menanam bawang merah sepanjang tahun. Ini semacam menjadi berkah tersendiri. Di saat pusat-pusat bawang merah di daerah lain (seperti Kabupaten Brebes dan Kabupaten Nganjuk) hanya bisa memanen bawang merah di musim kemarau, Dusun Ngrawan (dan sebagian Bangunsari) bisa panen baik di musim kemarau maupun musim hujan.

Berdasarkan catatan bulan Desember sampai Juni tahun 2019-2020, harga bawang merah berada di antara Rp. 20.000 sampai dengan Rp. 40.000. Dari kisaran nominal itu banyak petani yang mendapatkan laba 150% sampai 200%. Artinya, jika modal untuk tanah seluas 1400 m adalah 10 juta, maka petani bisa meraup laba bersih 15 juta sampai 20 juta hanya dalam kurun waktu dua bulan. Ini tentu fakta yang bisa mematahkan steriotipe profesi petani sebagai profesi tidak strategis itu.

Belum lagi peluang di bidang tanam melon. Jika harga melon perkilo standar saja (Rp. 4000- Rp. 5000), hasil panen bisa mencapai 200% dari modal yang ada. Bayangkan saja, misal harga lebih dari itu, tentu persentase bisa naik lagi. Terlebih konon ongkos “repot” budidaya melon lebih murah ketimbang budidaya bawang merah, tentu ini menambah nilai keuntungan sendiri.

Petani Dusun Bangunsari lebih ekspert di bidang permelonan ini. Mereka dapat dikatakan awalu man (yang pertama) yang menanam melon sebelum tren bertanam melon ini menyebar ke berbagai pelosok di Kecamatan Kalidawir dan sekitarnya. Hanya saja, satu hal yang menjadi problem penting bagi mereka adalah mereka kekurangan lahan.

Pasalnya, bertanam melon tidak bisa di lahan sembarangan. Tanaman buah dari daerah Afrika Ini harus ditanam di lahan dengan kadar air yang terkontrol dan memiliki nutrisi yang baik. Di samping itu, dalam memilih lahan juga diperlukan analisis lingkungan agar tidak mudah terserang hama yang terlalu banyak.

Konon, untuk mendapat lahan yang strategis itu, biasa para petani menyewa lahan sampai luar daerah. Setelah musim panen padi gadu (padi tanam kedua) selesai, mereka berlomba-lomba berburu lahan untuk disewa barang cukup sekali tanam.

Memang jika dihitung, petani peminat melon di Tunggangri tidak sebanyak peminat bawang merah. Meskipun demikian, setiap tahunnya jumlah petani yang tertarik menanam buah ini juga mengalami peningkatan. Hal ini karena menanam jenis hortikultura apapun memerlukan modal tidak sedikit dan mental usaha yang tahan banting, sehingga memerlukan daya nekat yang besar. Utamanya bagi para pemula, optimisme dan dukungan dari petani lain adalah modal utama.

***

Kedua jenis tanaman (bawang merah dan melon) tersebut adalah tanaman asing. Lalu, bagaimana para petani di pelosok Tulungagung ini bisa menguasai cara budidaya keduanya?

Ya, patut disyukuri, di antara Takdir Tuhan yang terus melekat pada masyarakat Desa Tunggangri adalah keterjagaan solidaritas mereka. Kesamaan nasib sebagai masyarakat jelata yang terus dituntut kebutuhan hidup, menjadi alat pemersatu mereka untuk terus bekerjasama. Ditambah lagi profesi utama sebagai petani serta adanya tekanan industri global, berkonsekuensi pada daya kreativitas untuk memacu daya saing.

Dari solidaritas itulah lahir anak pertama yang kita sebut di awal dengan “gotong-royong”.

Jika ditilik dari sudut pandang sejarah, masyarakat Tunggangri selama ini bukanlah anak emas. Maksudnya, (hampir sama dengan masyarakat lain) mereka dilahirkan tidak untuk menjadi kelompok masyarakat yang manja. Mereka serba dituntut untuk mandiri. Mereka adalah orang-orang yang dilepas di belantara kemudian menemukan sendiri kehidupannya.

Bahwa ada perhatian dari pemerintah, iya, namun itu bersifat makro. Pembangunan tanggul sungai untuk pencegahan banjir, pembangunan akses jalan untuk kelancaran distribusi, dan penyaluran bantuan mesin dan alat-alat pertanian, merupakan bentuk perhatian itu. Akan tetapi, di ranah intensifikasi, selama ini masih belum ada sentuhan yang signifikan.

Jika ditelusuri, solidaritas mereka sudah terjalin lama. Katakanlah di zaman penjajahan dengan segala bentuk tekanan dan eksploitasi menjadikan masyarakat menelan pahit bersama, dan berupaya menangkalnya bersama-sama pula. Mereka saling bahu-membahu untuk bisa bertahan hidup.

Hingga pasca kemerdekaan, itu tetap terasa kental. Dengan segala beban pahit proses revolusi, muncul fenomena budaya di mana masyarakat terus dan semakin kuat bergotong-royong dalam berbagai hal, mulai kepentingan umum, kepentingan keluarga bahkan kepentingan pribadi orang lain.

Bagi mereka, kumpul untuk bekerja sama adalah perkara yang penting. Tidak heran jika pepatah Jawa menggambarkannya dengan “mangan ora  mangan sing penting kumpul’ (makan atau tidak yang penting berkumpul). Maksudnya, di zaman sulit dulu, makanan bukan syarat utama untuk berkumpul. Kebersamaan dan saling membantu adalah sesuatu yang lebih diutamakan.

Meskipun dalam ranah tertentu ada juga yang mensyaratkan keberadaan makanan untuk berkumpul, namun itu bukan syarat umum. Itu hanya kesadaran pemilik hajat untuk mengadakan dengan dasar kepercayaan tertentu.

Hal ini misalnya yang terjadi dalam tradisi slametan. Budaya yang satu ini tidak bisa dipisahkan dari makanan. Slametan berbeda dengan pesta. Slametan adalah simbol doa bersama. Atau bisa juga doa untuk kepentingan orang tertentu namun dilakukan secara bersama. Maka orang ada yang memahaminya dengan sedekah makanan.

Dapat dikatakan slametan merupakan  bentuk gotong-royong di ranah ritual. Seseorang punya kepentingan hajat doa tertentu kemudian mengundang tetangga untuk ikut serta mendoakan. Doa-doa tersebut selain dipanjatkan melalui lisan juga tersimbolkan dalam sajian makanan yang disedekahkan.

Sampai sekarang ritual itu masih ada, meskipun sudah ada pemaknaan baru hingga ada beberapa jenis slametan tertentu yang sudah tidak dilaksanakan.

Di zaman sebelum tahun 1968, slametan dan ritual-ritual tertentu kental menjadi salah satu cara masyarakat untuk mencari solusi atas problem yang dialami. Dalam pertanian misalnya, setiap siklus proses tanam tidak bisa dilepaskan dari ritual.

Katakanlah orang mau menanam padi, sebelumnya dicari hari yang terbaik. Sebelum tanah diolah, orang melakukan ritual tertentu. Ketika padi hendak ditanam juga ada ritual. Lalu saat padi mulai berbuah diadakan ritual ider-ider. Ketika padi menguning ada ritual ider-ider lagi. Kemudian saat padi mau di panen dilakukan ritual petik padi dan lain-lain.

Perlu dicatat, tahun 1968 ke bawah belum muncul kebijakan revolusi hijau. Corak pikir mereka dalam menanam masih kental dengan nuansa ritual dan spiritual. Problem-problem pertanian lebih sering dianalisis secara spiritual, daripada pendekatan ilmu-ilmu pertanian. Maka, ritual nyadran, slametan atau apa pun di ranah pertanian zaman dulu adalah bentuk gotong-royong mencari solusi dari problem-problem yang dihadapi.

Sebagaimana sudah disinggung, setiap kali akan memulai tanam, atau pada fase-fase tertentu mereka bersama-sama melakukan ritual untuk berdoa demi keselamatan baik tanaman maupun keluarga petani bersangkutan. Ritual ini oleh masyarakat setempat disebut dengan “Nyadran”. Nyadran adalah pergi ke tempat keramat (seperti kuburan, pohon besar, dan lain-lain) untuk berdoa agar apa yang menjadi tujuannya bisa tercapai. Menurut hemat penulis, istilah nyadran ini digunakan untuk menyebut ritual yang dilakukan di tempat keramat  selain  Masjid atau Mushalla.

Dulu, ada dua pusat ritual nyadran di Tunggangri. Pertama, di Punden Gadung Melati. Menurut cerita sesepuh, punden ini merupakan makam dua orang yang membuka (babad alas) desa ini. Mereka disebut sebagai leluhur Desa Tunggangri.

Belum ada penelitian yang pasti, hanya banyak pihak yang mengatakan kedua makam tersebut adalah makam tertua. Karena predikat “tertua” tersebutlah dulu tempat itu begitu dihormati dan dianggap sebagai wasilah penting untuk terkabulnya doa-doa. Bahkan dewasa ini, meskipun punden itu sudah tidak begitu terurus, masih ada pihak-pihak tertentu yang “nyepi” di sana untuk berritual.

Kedua,  Patung Werkudara. Tempat nyadran ini terletak di sebelah utara Sungai Roworemang (sungai yang paling utara di antara tiga sungai besar yang melintasi Desa Tunggangri), tidak jauh sebelah timur dari jembatan jalan utama kabupaten. Orang menyebutnya dengan “Patung Mbah Werkudara” dengan Pohon Besar yang menaunginya.

Kata orang-orang yang dulu pernah beritual di sana, patung itu cukup besar bergambarkan salah satu tokoh wayang Werkudara (Bima). Konon patung itu telanjang, dengan alat kelamin laki-laki tegak menjulang. Ada yang mengatakan, patung ini merupakan simbol laki-laki yang dipasangkan dengan Mbah Gadung Melati yang perempuan.

Orang-orang sering nyadran di patung ini untuk melakukan kenduri dengan niat doa-doa tertentu agar segala proses kehidupan mereka terus diberi keselamatan. Meskipun patung terletak di dusun Krajan, namun orang-orang dari Dusun Ngrawan dan Bangunsari juga banyak yang berkunjung.

Pada tahun 1968 (pasca G 30 S), seiring dengan kebijakan revolusi hijau Orde Baru, Patung Werkudara dihancurkan oleh para pemuda desa itu sendiri melalui instruksi Ormas tertentu. Dan agaknya, gerakan penghancuran ini terstruktur dengan baik, sebab secara serentak di desa-desa lain melakukan hal yang sama.

Penghancuran patung-patung dan gerakan meninggalkan ritual di punden menjadi tonggak penting perubahan cara berfikir masyarakat di ranah pertanian.  Pendekatan mereka dalam mencari solusi atas problem yang dialami menjadi lebih rasional. Ilmu-ilmu modern bercocok tanam semakin laris dan memiliki otoritas yang semakin kuat.

Wal hasil, pergeseran budaya pun terjadi.

***

Semakin ke sini terasa zaman telah membawa banyak perubahan. Cara pandang modern itu semakin nyata mampu mengalahkan cara pandang lama. Mereka (para petani) memilih berhijrah dari sesuatu yang “dianggap” kolot ke sesuatu yang “dianggap” maju.

Masyarakat kini seolah sudah tidak begitu percaya dengan beberapa praktik ritual yang dilakoni para leluhur. Logika materialis-industrialis meretas kebudayaan gaya baru. Hingga bentuk-bentuk gotong-royong pun mengalami perubahan.

Dulu dalam proses tanam ada unsur gotong-royong, sekarang nyaris tidak ditemui. Apa lagi ritual-ritual khusus untuk penyelamatan tanaman dari hama, dianggap sesuatu yang kolot, takhayul, tidak rasional, dan tidak modern. Memang gotong-royong dalam ritual slametan masih ada. Akan tetapi, niatan slametan sebagai solusi atas problem menanam sudah tidak dilakukan.

Wajah budaya bertani demikian berubah. Patung-patung, punden, dukun ider-ider dan simbol-simbol budaya lain sudah tergeser. Saat ini, ikhtiar mengatasi problem menanam bukan dengan ritual namun lebih kepada ilmu pengetahuan.

Misal ketika hama menyerang, bukan asap kemenyan yang dihembuskan ke sawah, namun pestisida. Kemudian, ketika tanaman pertumbuhannya tidak bagus bukan cok bakal atau pun keris yang dilempar, namun pupuk kimia.

Budaya itu terkuatkan dengan persaingan industri global, sehingga apa yang spiritual semakin tertinggal lalu yang material semakin dikejar.

Dari akar berfikir materialis itulah kini gotong-royong mewujud pada bentuk yang lebih pragmatik. Teorinya sederhana saja sebenarnya. Setiap kali kelompok masyarakat mengalami kesulitan bersama, maka akan ada solidaritas di sana, kemudian mereka menjalin kerja sama untuk menemukan solusi dari kesulitan tersebut.

Sudah dikatakan, dulu corak gotong-royong lebih kepada nuansa spiritual, sebab cara berpikir masyarakat dalam menyelesaikan masalah pada saat itu memang begitu. Lalu, dewasa ini, gotong-royong berubah kepada bagaimana agar bisa berhasil menanam dengan ilmu-ilmu cocok tanam modern.

Dengan berbagai rekayasa industri produk-produk bahan pertanian (pupuk, pestisida, benih, dsb), menjadikan problem bertani semakin kompleks. Dulu tanah barangkali cukup dengan pupuk kandang, namun sekarang harus memakai pupuk kimia. Dulu pestisida tertentu bisa membasmi hama tertentu, namun ketika berganti waktu, pestisida yang sama sudah tidak mampu.

Wal hasil, petani harus terus aktif mencari solusi. Observasi, eksperimen, maupun diskusi tukar pengalaman menjadi bentuk ikhtiar yang terus mereka lakoni. Dalam hal ini, petani Desa Tunggangri agaknya lebih memilih berupaya untuk berdikari semampunya daripada banyak menaruh harapan  yang belum pasti dari struktur di atasnya.

Poin tersebut lah yang dewasa ini menjadi landasan kesadaran petani Desa Tunggangri. Bahwa ilmu dan pengalaman merupakan modal utama dalam pengembangan diri. Adapun untuk pengembangan ilmu, yang paling mudah dan murah bagi mereka tentu dengan gotong-royong saling tukar pengalaman. Mereka memahami bahwa hanya dengan terbuka satu-sama lain problem-problem pertanian yang kian berkembang tersebut akan lebih mudah diatasi.

Di Tunggangri, atau lebih umum lagi di Tulungagung ada satu aktivitas warga yang kini begitu membudaya, “ngopi”. Budaya ini semacam menjadi  pasangan serasi bagi semangat untuk bergotong-royong saling tukar pengalaman tersebut.

Mungkin dalam pandangan umum, ngopi identik dengan aktivitas para pemalas yang menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk nyruput secangkir kopi. Namun, bagi petani Tunggangri, filosofi ngopi  tidak sesederhana itu. Bagi mereka dalam istilah “ngopi” terdapat kesan utama kumpul bersama teman untuk saling ngobrol tukar pikiran. Bahwa kehadiran kopi atau minuman lain disela-sela obrolan itu sebagai sesuatu yang perlu, iya. Hanya saja, posisinya tidak lebih dari pengiring kegayengan obrolan semata.

Dari sini artinya, warung kopi dapat disebut sebagai saksi bagi geliat mereka dalam bergotong-royong mencari solusi atas problem-problem bertani. Banyak pengembangan ide yang lahir dari sana. Pun banyak semangat yang tertular dari  tempat itu.

Maka, bagi masyarakat petani Tunggangri, warung kopi tidak lain adalah punden dalam semangat zaman milenial. Dulu di punden para petani menghormati roh-roh alam agar bisa lancar dalam menanam, kini di warung kopi mereka menghormati ilmu dan pengalaman. Dulu mereka membawa berbagai sesaji untuk dimakan bersama, kini sesaji itu cukup satu cangkir kopi saja. Dulu orang mengundang handai taulan untuk berdoa bersama, kini handai taulan menjadi wasilah diskusi untuk mencari solusi. Dulu orang ada yang mengasah rohani untuk mengakses wangsit, kini mereka memastika gadget punya kuota internet untuk menjelajahi wangsit-wangsit di dunia virtual.

***

Ya, begitulah fenomena kebudayaan bertani di salah satu desa pelosok Tulungagung ini. Bagaimanapun semangat para petani dalam bergotong-royong baik versi lama “nyadran” di punden maupun versi baru “ngopi” di warung kopi patut dijadikan pelajaran. Di atas itu semua, satu pelajaran yang penting digarisbawahi bahwa gotong-royong masih menjadi kunci penting bagi perkembangan ekonomi masyarakat petani. Ya, gotong-royong.

Dan agaknya kok tidak mungkin para petani bersikap individualis. Petani adalah petani. Negeri ini melatih mereka untuk mandiri. Mandiri bukan berarti segala-galanya dikerjakan sendiri, melainkan bersama-sama untuk menyelesaikan problem kaumnya sendiri. Bersama siapa? ya bersama petani, siapa lagi. Apa ada yang lebih bagus dari petani selain petani itu sendiri, hmm.. yang lebih mahal banyak.. [Adib Hasani]

Bagaimana reaksi anda mengenai artikel ini ?