Rasanya kok merana sendiri mengingat potret Dusun Ngrawan sebelum tahun 2000-an. Sebuah dusun pesakitan. Dusun “banjiran”.

Sebenarnya hanya berawal dari salah satu sungai di Kecamatan Kalidawir yang tidak mampu menampung debit air. Kali Gedhe, masyarakat sering menyebut sungai itu. Atau dalam administrasi Dinas PU Pengairan Tulungagung bernama resmi Sungai Drain Kalidawir.

Sesuai namanya, Drain Kalidawir merupakan sungai yang berfungsi sebagai drainase dari pegunungan selatan Kecamatan Kalidawir. Berdebit air sedikit di musim kemarau, dan sewaktu-waktu bisa berkali-lipat naik pada saat musim hujan. Pada saat debit air naik,  sering kali air meluber, atau kalau tidak begitu menjadikan tanggul sungai jebol. Wal hasil, yang terjadi adalah banjir.

Dusun Ngrawan dapat dikatakan sebagai langganan dari banjir tersebut. Terlebih sebelum tanggul sungai dibeton, setiap tahunnya dusun ini selalu mendapat kiriman air bah dari pegunungan selatan.

Tidak hanya air dan sampah yang sampai di dusun ini, tanah erosi pegunungan juga turut menimbun lingkungan. Hasilnya, Dusun Ngrawan yang konon dulu area sawah dan rawa, (Nama Ngrawan dari kata dasar rawa), kini menjadi area tegalan.

Perubahan kontur tanah tersebut sempat menjadikan beberapa petani kebingungan. Pasalnya, petani umumnya pada waktu itu masih bersimpati dengan program pemerintah Orde Baru tentang revolusi hijau dengan target utama swasembada berasnya. Dalam situasi demikian, tentu petani arus utama adalah petani padi–di samping petani tebu yang memang dulu Dusun Ngrawan menjadi produsen gula.

Maka dari itu, pasca lahan yang semakin meninggi dan tanah sulit diajak bertanam padi, di antara para petani ada yang memilih mengeruk tanah agar tetap memiliki kontur rendah layaknya sawah.

Namun, belakangan pengerukan tersebut justru berbuah sesal. Hal ini karena pengerukan lahan yang tidak merata justru menjadikan lahan yang terkeruk terkucil. Di saat musim hujan, lahan terkeruk menjadi patusan genangan air dari lahan yang mayoritas lebih tinggi. Di samping itu, lahan terkeruk cenderung sulit untuk bisa mengikuti trend pertanian dari lahan yang mayoritas tetap tinggi tersebut.

Memang, atas program swasembada beras itu, di Dusun Ngrawan dulu sempat juga ada desain saluran pengairan untuk tanaman padi. Namun, proyek itu pun ternyata mandeg begitu saja. Dan bangunan parit saluran pengairan yang belum rampung justru ikut tertimbun dengan tanah erosi bawaan banjir.

***

Di sisi lain, dari sikap mayoritas petani yang tidak mengeruk lahannya, justru ada usaha inovasi adaptif dengan  lahan yang ada. Mereka rela meninggalkan keinginan keterjaminan beras dengan menanam padi dan memilih bertani hortikultura.

Ada beberapa komoditas yang mereka hasilkan seperti: tebu, tembakau, cabai, terung, dan tanaman sayur lainnya. Sebelum pada akhirnya mereka menemukan komoditas yang memiliki peluang ekonomi bagus yakni melon, semangka dan bawang merah.

Dewasa ini, para petani Dusun Ngrawan sedang bergembira dengan budaya tanam bawang merah. Tanaman bumbu asal Persia itu, kini dapat dikatakan sebagai produk utama dan unggulan dusun ini. Disebut demikian sebab selain memiliki potensi keuntungan yang bagus, bawang merah juga dapat ditanam oleh petani sepanjang tahun di segala musim.

Inilah yang kerap disyukuri oleh masyarakat Dusun Ngrawan. Tanaman bawang merah yang menuntut lahan dengan kadar air terkontrol sangat cocok dengan lahan tegalan Dusun Ngrawan. Di saat desa-desa lain atau bahkan daerah-daerah pusat bawang merah  berhenti berproduksi di musim hujan sebab lahan yang digunakan adalah lahan sawah, di Dusun Ngrawan masih bisa bertahan menanam di atas lahan “berkah” erosi itu.

Ya, meskipun tidak sampai ratusan hektar, bertanam bahan pokok teman setia sayur ini di musim hujan merupakan peluang tersendiri untuk menjemput keuntungan yang lebih banyak.

Dalam perkembangannya, tampak ekstenfikasi lahan bawang merah terus diupayakan oleh para petani. Wilayah yang rentan tergenang air di musim hujan mulai ditanami dengan siasat lahan parit yang dalam dan peninggian bedengan.

Hanya saja, yang perlu menjadi perhatian dan kewaspadaan bagi pertanian ini adalah tetap tentang momok lama musim hujan yaitu banjir. Memang untuk sungai Drain Kalidawir semenjak proyek peninggian dan pembetonan tanggul sudah lebih aman dari resiko jebol atau meluber lagi. Namun, baik warga petani maupun pemerintah perlu terus memantau kondisi tanggul dan potensi pendangkalan sungai itu.

Selain Drain Kalidawir, Sungai Sendung yang terletak di perbatasan timur Desa Tunggangri dan Desa Salakkembang juga tidak kalah penting untuk diwaspadai. Sungai satu ini belum ada pembetonan tanggul dan cepat terjadi pendangkalan. Dan agaknya, karena ukurannya kecil, sungai ini sering lepas dari pantauan, sehingga tahu-tahu air meluber dan tahu-tahu tanggul jebol.

***

 

Wal hasil, bertani di lahan yang beresiko banjir memang tidak mudah. Selain kewaspadaan, para petani dituntut untuk memiliki strategi yang bagus. Siasat lahan dan inovasi hortikultura di Dusun Ngrawan penting untuk terus dikembangkan.

Saat ini, memang bawang merah yang menjadi primadona, tidak menutup kemungkinan ke depan para petani berinovasi di komoditas yang lain. Atau barangkali kini sudah saatnya muncul inovasi dalam hal peningkatan nilai ekonomi bahan baku bawang merah tersebut, seperti membuat produk khas kripik bawang merah misalnya. Semua tentu tergantung pada minat berinovasi masyarakat Dusun Ngrawan itu sendiri. []Adib Hasani

Bagaimana reaksi anda mengenai artikel ini ?