Pernahkan, melihat meme pasangan muda suami istri sedang berdua di pematang sawah. Dengan baju yang penuh bercak lumpur dan berpeluh, mereka duduk berhadapan. Seorang istri yang ayu menuangkan kopi ke suami. Lalu, ada quotes, “Mugi tandurane terus subur kados tresnoku, Mas!“.

“Hah, bikin iri”, kata para jomblo.

“Ah, ngimpi! apa ya masih ada yang seperti itu”, timpal yang lain.

Di era yang serba sadar kamera seperti saat ini, bagi perempuan, kegiatan yang beresiko merusak kulit tentu pekerjaan berat. Ndak berat gimana, kepanasan, berjibaku dengan lumpur, lalu apa gunanya pakai skin care?

Kecuali dalam rangka tuntutan sensasi,  jangankan mandi lumpur, masuk sumur pun dilakukan. Tapi kan ya sensasi itu cuma momen tertentu. Kalau itu untuk selamanya, atau menjadi rutinitas sehari-hari, coba, perempuan milenial mana yang mau. Sewu siji.

Beruntung. Mungkin di antara yang siji dari sewu itu ada di Mas’ud, seorang petani muda yang tidak pernah lupa bahagia. Ia bukan penduduk Desa Tunggangri, tetapi memiliki lahan tanam bawang merah yang lumayan luas di desa ini.

Mas’ud tergolong petani muda. Setidaknya jika dilihat dari aura gantengnya saat ini, usia sekitar 34 tahun. Dapat lah jika ia disebut prototype petani milenial. Update pengetahuan, bermain medsos, memikirkan inovasi bertani adalah kegiatannya setiap hari.

Adapun istrinya, terbilang lebih muda,  usia masih hampir kepala tiga. Kegiatannya saban hari ya mendampingi Mas’ud. Ia yang mengalkulasi segala pemasukan dan pengeluaran usaha taninya. Ia juga yang memberi motivasi dan masukan-masukan positif kepada Mas’ud. Masalah kadang ada ngalem-ngalem nya, itu lumrah saja kan, sebagai seni suami-istri?

Yang paling menarik di antara itu, ia pun bisa dan mau menjadi partner bekerja di sawah. Seorang perempuan milenial mau terjun ke sawah, Istimewa, kan! Yang menjadikannya istimewa sebenarnya bukan karena dia perempuan. Kalau hanya perempuan, masih banyak di antara ibu-ibu tua yang berpayah di sawah. Kesan istimewa hadir dari usianya yang milenial itu.

Sudah maklum kiranya kaum milenial ini merupakan produk dari zaman kemajuan teknologi informatika. Wataknya terbentuk dari habitus medsos yang memiliki kecenderungan narsisme tinggi.

Sistem algoritma medsos yang memprioritaskan apa yang disuka mampu memproduksi pasar narsisme dan sensasi, hingga menjadikan gerak pemain medsos juga mengikuti alur itu. Apa yang disuka khalayak ditampilkan dalam cermin dirinya.

Katakanlah pandangan umum tentang perempuan yang disukai adalah yang cantik. Lalu, kriteria cantik itu misalnya kulit putih, bersih, merah di pipi(mu), maka para perempuan pun akan mengupayakan untuk bisa seperti itu. Ia cenderung menghindari aktivitas yang beresiko merusak kriteria cantik tersebut.

Lalu, istri Si Mas’ud sekali lagi memang memiliki sikap berbeda. Terkait gaya ke-milenial-an sebenarnya ia juga tidak kalah dengan yang lain. Namun begitu, ia juga tahu betul akan posisinya yang istri seorang petani.

Ia memahami bahwa peran istri adalah partner bagi suami dalam hal apa pun. Atas peran itu, ia merasa wajib untuk bisa membantu suami dalam masalah ekonomi. Ia berusaha selalu terampil.

Misal, ketika suami bekerja ke luar negeri, istri Mas’ud tidak tergiur memanfaatkan dolar-dolar kiriman suami  untuk neko-neko. Ia malah menyibukkan diri berwirausaha ternak jangkrik. Urusan gincu dan jajan cukup dari hasil budidaya jangkrik ini. Adapun pundi-pundi dolar biarlah tersimpan untuk masa depan.

Di samping memang dalam tradisi keluarganya ada budaya kuat tentang kemandirian perempuan, istri si Mas’ud juga memiliki karakter lebih kepada perempuan “ndeso” yang bergaya natural. Menurut penulis, ia adalah titik temu dua budaya, budaya milenial tentang kecakapan ber-medsos dan budaya perempuan ndeso,  yang sregep bertani.

Dengan karakternya yang seperti itu, ia justru bisa terlihat elegan baik dari sudut pandang penampilan maupun sudut pandang sosial. Diam-diam ia mampu membelalakkan pandangan masyarakat tentang stigma kemustahilan perempuan milenial bekerja di sawah itu. Ia turut mereformasi  pandangan lingkungan masyarakat tentang profil perempuan dan seorang istri yang baik,  terampil dan “keren”.

Jika Istri Mas’ud tetap konsisten dengan sikapnya yang demikian, penulis yakin, ia akan menjadi model perempuan desa yang patut diperhitungkan. Ruang “jagongan” dan “rasan-rasan” yang biasa terjadi di masyarakat dengan sendirinya akan mempromosikannya. Dari sana lah transformasi keteladanan terjadi, dan budaya pun akan bisa berubah.

Ya, perempuan agaknya memang memiliki daya pikat tersendiri dalam produksi wacana kebudayaan. Tidak melulu tentang festival tubuh, tetapi juga dalam hal perannya di ranah perekonomian rumah tangga.

Seperti yang terjadi di Dusun Ngrawan sekitar tahun 2014 lalu. Istri seorang PMI, mencoba peruntungan menanam melon dan hasil panenannya itu pun bagus. Atas keberhasilannya tersebut, diam-diam ia menarik perhatian tidak hanya kalangan perempuan lain tetapi juga petani laki-laki yang dulunya takut menanam komoditas bermodal tinggi ini menjadi bernyali.

Akhirnya, muncullah budaya baru dalam pertanian Dusun Ngrawan. Masyarakat menjadi berani untuk mencoba menanam tanaman yang bermodal tinggi. Pola-pola tanam hortikultura modern pun semakin merebak.

Memang, implikasi keberhasilan petani perempuan itu tidak bisa semena-mena dikatakan satu-satunya faktor perkembangan pertanian di Dusun Ngrawan. Namun, dari sini dapat dilihat, perempuan yang mampu menampilkan diri keluar dari stigma mainstream sebagai makhluk lemah; tidak pantas kerja kasar; konsumtif-hedonis; akan menjadi kekuatan tersendiri bagi terjadinya perubahan.

Seperti halnya R.A. Kartini, bukankah ia menjadi “harum namanya” sebab bisa keluar dari mainstream keterpurukan perempuan yang hanya tahu dapur, kasur, dan sumur, menjadi perempuan yang terpelajar dan berwawasan?

***

Betapapun demikian, ada sebuah catatan yang agaknya penting diperhatikan. Istri Mas’ud belum tentu bisa bersikap seperti itu, jika suaminya bukan Mas’ud. Maksudnya, dalam dunia sosial kita, peran suami masih begitu vital dalam membentuk sikap istri.

Umpamanya, yang sekarang menjadi Istri Mas’ud anggap saja dulu menikahnya dengan laki-laki lain bernama Joko. Meskipun si Joko juga petani, belum tentu ia membolehkan istrinya ikut terjun ke sawah.

Tidak jarang suami yang menginginkan istrinya tetap tampil sebagai perempuan mainstream demi pandangan sosial tertentu. Atau jika tidak begitu, atas stigma perempuan mainstream tersebut, suami menaruh underestimate kepada kemampuan istrinya.

Seperti beberapa waktu lalu, istri saya merengek-rengek ingin beternak kambing. Mendengar itu, tanpa pikir panjang saya langsung nyeletuk, “Halah, mana mungkin kamu bisa ngaret? “.

Alih-alih, tidak mau ketiban lemparan tanggungan ngaret dari istri saya, saya sebenarnya juga ber-underestimate. Hah..hah…. Suami macam appah..!!

Sepertinya hamba masih perlu mbeguru kepada Si Mas’ud. []Adib Hasani

 

Bagaimana reaksi anda mengenai artikel ini ?