“Ini Demokrasi Mas, kamu harus berkomunitas”. Kata seorang teman suatu hari di warung kopi.

Saya kira petuah itu bukan hal baru. Semua orang juga tahu bahwa salah satu kebaikan dari demokrasi adalah pemberian ruang untuk berkomunitas. Dari komunitas, kepentingan bersama bisa terwadahi. Dari komunitas, apa yang dikatakan suara rakyat bisa semakin kuat.

Demikian penting keberadaan komunitas. Dalam struktur masyarakat negara demokrasi seperti Indonesia, komunitas menjadi perkara fardhu untuk menciptakan iklim dialektika sosial, politik serta ekonomi yang sehat. Social checks and balances juga tidak akan bisa terjalin dengan apik tanpa ada komunitas.

Demikian halnya dalam skup komunitas petani di desa, eksistensi dari kelompok tani sangat diperlukan utamanya untuk pemberdayaan. Bagaimana tidak, seperti yang berkali-kali disinggung di tulisan lain, agaknya kok mustahil cita-cita pertanian maju dapat digapai dengan jalan nafsi-nafsi.

Atas keberadaan kelompok tani idealnya bisa semakin memperkokoh kekuatan para petani; membuka potensi kemandirian; sebagai wadah mencari solusi dari permasalahan yang dialami; dan tempat dimana dialektika antara petani dan pemerintah terjadi.

Namun begitu, beda idealitas beda realitas. Faktanya, tidak semua peran kelompok tani tersebut terejawantahkan dengan baik. Kita bisa melihat sendiri berapa banyak kelompok tani yang benar-benar menjadi subjek sosial, lalu berapa yang stagnan menjadi objek? Berapa kelompok tani yang menjalankan visi dan misi, lalu berapa kelompok tani yang sekadar basa-basi?

***

Dalam sejarahnya, memang tidak semua kelompok tani  yang ada saat ini terbentuk dari spirit komunal petani. Maksudnya, lahirnya kelompok tani secara umum lebih merupakan tuntutan kekuasaan. Penguasa berkepentingan melancarkan kebijakan di ranah pertanian, maka dibentuklah kelompok tani sebagai wadah dari program pemerintah.

Polanya top down. Di desa tertentu mulanya kelompok tani tidak ada, lalu atas kebijakan pemerintah mau tidak mau harus diadakan. Yang sering terjadi seperti itu. Meskipun ada juga sebelumnya sudah terbentuk semacam paguyuban petani lalu tinggal dikembangkan menjadi kelompok tani. (Yang kedua ini biasanya lebih bisa menjalankan visi dan misi dengan baik.)

Zaman Orde Baru dapat dikatakan sebagai zaman dimana penertiban komunitas-komunitas petani secara struktur kelembagaan terjadi. Diawali dari penertiban 14 organisasi petani yang lahir di era Orde Lama dengan mengharuskan mereka berafiliasi pada satu wadah besar Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Kemudian pada tahun 1979, membentuk Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani di desa-desa.

Dengan cara yang terakhir ini, memang pemerintah menjadi lebih mudah dalam melancarkan misi pembangunan. Pada masa itu, ada istilah Insus (Intensifikasi Khusus). Program ini tidak lain adalah upaya pemerintah untuk memberikan bimbingan dan bantuan kepada petani dalam pemaksimalan hasil produksi pertanian.

Di samping Insus, pembentukan kelompok tani secara menyeluruh juga untuk meningkatkan posisi tawar petani melalui efisiensi pembelian input kolektif. Semua kegiatan penyuluhan, bantuan pertanian dan program pemerintah hanya akan diberikan kepada kelompok tani resmi.

Dari konsep yang demikian, pada akhirnya justru semakin menguatkan posisi kelompok tani sebagai objek pembangunan. Memang tiga fungsi kelompok tani –fungsi kelas belajar, fungsi kerjasama; dan fungsi unit produksi– selalu diupayakan. Akan tetapi, pola yang top down menjadikan kelompok tani berubah haluan dari kelompok sosial menjadi kelompok struktural-formal. Ya, kelompok tani semakin kesini semakin disalahpahami hanya sebagai pos penerima bantuan pemerintah saja.

Hingga kini kesalahpahaman itu masih berlanjut. Kerja kelompok tani relatif bersifat pasif. Bahkan ada juga yang menganggap kelompok tani sekadar basa basi: Halah, yang penting sewaktu-waktu ada bantuan dari pemerintah, sudah ada kelompok tani sebagai tadah.

Kelompok Tani hanya menjadi alat untuk memetik dan mewadahi buah program dari pemerintah. Padahal sebenarnya tidak melulu demikian. Kelompok tani bisa menjadi subjek dari pencapaian cita-cita petani yang lebih baik.

Sebagai subjek aktif, kelompok tani bisa memperjuangkan hak-haknya di hadapan negara. Kelompok tani juga bisa mewarnai keberlangsungan pertanian dengan ide-ide yang kreatif dan konstruktif. Di samping itu, kelompok tani sangat mungkin bergerak secara filantropis untuk mewujudkan kemandirian,  sehingga tidak melulu bergantung pada pemerintah.

***

Sebuah fenomena terjadi di Desa Tunggangri. Ada dua karakter kelompok tani yang berbeda. Pertama, kelompok tani yang pembentukannya atas program pemerintah. Persis seperti tergambarkan di atas, kelompok tani ini bersifat pasif; hanya bergerak jika ada program dari pemerintah; dan merasa cukup dengan posisinya sebagai objek.

Kedua, kelompok tani yang terbentuk dari  dinamika sosial petani. Kelompok tani ini lebih idealis. Mereka adalah kalangan milenial yang memimpikan perubahan positif di ranah pertanian. Kelompok milenial ini lahir dari kesadaran akan pentingnya perubahan. Pada awalnya, mereka memposisikan diri sebagai antitesis dari kelompok pertama, namun seiring waktu berlalu keduanya bisa saling kooperatif.

Menurut mereka, Kelompok Tani yang sekadar basa-basi sudah basi. Kelompok Tani harus dihidupkan kembali layaknya organisasi.

Upaya produktif yang dilakukan kelompok milenial ini misalnya adalah melakukan pertemuan-pertemuan rutin untuk membahas mulai dari problem kelompok maupun problem pertanian. Di samping itu, kelompok ini lebih bisa memanfaatkan program pemerintah yang ada sebagai inovasi kelompok. Program pembuatan agensi hayati; persewaan traktor; dan pengolahan hasil panen merupakan unit usaha yang dikembangkan untuk kemandirian kelompok.

Atas peran kelompok tani milenial ini, tentunya menjadikan pertanian Desa Tunggangri menjadi lebih menggeliat. Potensi pengembangan dan pemberdayaan menjadi lebih bisa berjalan dengan baik. Lalu, program-program dari pemerintah pun bisa diterima untuk dimanfaatkan dengan maksimal serta berkelanjutan bagi kelompok.

***

Suatu ketika, saya mengikuti pelatihan pertanian yang diadakan oleh Dinas Pertanian. Waktu itu saya yang bukan siapa-siapa diminta untuk turut mewakili kelompok tani model pertama — saat itu model kedua masih belum ada.

Kemudian, setelah pelatihan itu usai, ternyata selesai sudah urusan. Maksudnya, tidak ada tindak lanjut dari pelatihan yang diberikan untuk dikembangkan di kelompok. Pelatihan hanya menjadi formalitas dan seolah hanya menjadi angin lalu.

Menurut pemahaman saya, memang saat itu masih ada problem di kalangan petani tentang kesadaran akan pentingnya kelompok sebagai rumah bersama. Para petani masih terjebak dengan pragmatisme individual sehingga abai dengan kepentingan komunitasnya. Padahal, sekali lagi, dalam lahan demokrasi kepentingan pribadi sangat berkaitan dengan kepentingan komunitas/ kelompok.

Namun, beda dulu beda sekarang. Kini pertanian Desa Tunggangri setidaknya mempunyai titik cerah dari adanya kaum tani milenial itu. Kehadirannya memungkinkan dialektika kesadaran petani terjadi. Kesadaran pragmatisme individual yang ada sangat mungkin berubah menjadi kesadaran pragmatisme komunal.

Tinggal seberapa kuat kaum tani milenial memegang idealismenya itu. Jika spirit pragmatisme komunal mereka kalah dengan arus pragmatisme individual, ya, mau tidak mau fenomena kelompok tani basa basi mungkin saja abadi. Jika sebaliknya, saya yakin kelompok tani basa basi bisa basi.[] Adib Hasani.

Bagaimana reaksi anda mengenai artikel ini ?