Ada sebuah cerita tutur yang berulang-ulang terdengar  di masyarakat tentang berdirinya desa Tunggangri. Sebagaimana desa-desa yang lain, cerita berdirinya desa tidak bisa dilepaskan dari nama desa itu sendiri. Tunggangri berasal dari dua kata, “tunggang” dan “eri”. Kata “tunggang” dalam padanan bahasa Indonesia juga disebut dengan istilah yang sama, “tunggang” dengan arti “naik” (lebih populer dalam bahasa verbal “menunggangi”), sedangkan “eri” dalam arti bahasa Indonesia adalah duri. Dengan demikian, yang dimaksud dengan “tunggangri” adalah menunggangi duri atau posisi di atas duri. Ada lagi versi lain dari itu. Tunggangri berasal dari kata “tunggak” yang berarti bekas tebangan kayu (bonggol) dan “eri” berarti duri.
Tentang orang-orang yang awal hidup di wilayah Desa ini atau yang sering disebut dengan sing babad Deso, ditemukan beberapa nama, diantaranya adalah: Kromodinolo (abad 19), Ki Citro Menggolo, Jontani alias Irontani, Jotruno (abad 19), Ronontiko Djoyoningrat, Mbah Jenggot, Tumenggung Joyodiningrat (abad 17). Para tokoh tersebut disebut sebagai pendiri tiga dusun di desa Tunggangri yakni dusun Krajan, Ngrawan, Clangap (sekarang Bangunsari). (Adib Hasani,2017:80-81) Sebelum mereka sebenarnya ada tokoh yang lebih sepuh lagi dan hingga sekarang situsnya masih ada. Tokoh dimaksud namanya adalah Ki Selowiduro (Plaku Doro) dan Nyi Gadung Melati, situs ini terletak di Dusun Krajan bagian timur dan masyarakat sering menyebutnya dengan “Danyangan Gadung Melati”.
Berdasarkan Buku Sejarah Desa yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Tulungagung, Ki Selowiduro dan Nyi Gadung Melati merupakan tokoh yang berasal dari kerajaan Kediri yang berpusatkan di Daha sekitar abad 12. Namun perlu dicatat, wilayah Tunggangri pada waktu itu belum bisa dikatakan sebagai satu kesatuan desa sebab diperkirakan penghuni wilayah ini masih beberapa orang saja.
Pembacaan sejarah Desa Tunggangri sebenarnya lebih bisa ditelusuri ketika mulai abad 17. Bahkan dapat dikatakan setiap dusun memiliki sejarah dan waktu berdiri berbeda. Maka dari itu, untuk lebih jelasnya akan dipilah-pilah sejarah Desa Tunggangri  berdasarkan dusun masing-masing.
Sejarah Dusun Krajan
Untuk yang babad Dusun Krajan barangkali dapat diambil dari tokoh Ki Selowiduro dan Nyi Gadung Melati. Artinya, di abad 12 pada zaman kerajaan Kediri Dusun Krajan sudah berpenghuni. Dusun Krajan merupakan pusat dari Desa Tunggangri. Masyarakat sering menyebutnya juga dengan Dusun Tunggangri. Artinya, awal mula desa ini berada memang dari Dusun ini.
Tentang sejarah dusun ini dapat diambil dari cerita tutur tentang sejarah nama Tunggangri yang sempat disinggung di atas. Konon pada zaman dulu para pendiri (yang babad) desa mendapati wilayah ini sebagai hutan yang penuh dengan pepohonan yang berduri seperti: Pohon Cangkring, Klampis, Bambu Duri, dan Pohon Pong. Pada saat pembangunan jalan utama menuju ke selatan, di wilayah yang saat ini disebut dengan Krajan terdapat sungai yang lumayan besar dan kebetulan aliran sungai itu telah dialihkan. Akhirnya agar bekas sungai tersebut bisa dilintasi jalan, ditimbunilah dengan kayu-kayu berduri  yang ditebang dari lingkungan setempat. maka dari itu, setiap orang yang melintas harus berjalan di atas duri-duri. Maka dari itu orang-orang sering menyebutnya dengan Tumpak Eri dan belakangan kata “tumpak” menjadi “tunggang” hingga muncul nama Tunggangri.
Sejarah Dusun Bangunsari (Clangap)
Lalu, untuk Dusun Clangap (Bangunsari) diprediksi baru ada pada abad 17 dengan tokoh dari Mataram yakni Tumenggung Joyodiningrat. Dalam cerita tutur, konon pada suatu kemarau panjang aliran sungai dari Ngrowogebang (Desa Kalidawir),tidak sampai pada wilayah utara. Akhirnya, terjadi pertikaian antara petani yang tidak mendapatkan bagian air di wilayah utara dengan petani yang di wilayah selatan. Karena terjadi adu mulut yang sengit maka ada salah satu orang yang saleh berusaha berunding dengan Tumenggung Joyodiningrat. Meskipun perundingan diusahakan, para petani tetap saja sulit berdamai dan terus beradu mulut. Hingga akhirnya, orang saleh tersebut menancabkan tongkatnya sambil berkata tegas, “Ojo Bodho Nyongob wae” (Jangan gadugh). Sejak saat itu, kata “clongop” sering disebut-sebut hingga akhirnya wilayah tersebut dinamai wilayah Clangap.
Versi lain dari, sejarah dusun ini adalah, dulu di wilayah tersebut ada sungai yang bercabang. Dalam istilah Jawa setempat bercabang disebut dengan “nylangap” atau terlihat menyabang. Maka dari itu, wilayah tersebut akhirnya disebut dengan Clangap.
Sejarah Dusun Ngrawan
Tidak berbeda dengan dua dusun yang lain, Dusun Ngrawan juga memiliki sejarah tersendiri. Konon wilayah ini dulunya adalah rawa-rawa. Orang setempat menyebutkan tanahnya tanah “jombok”. Tanah “jombok” adalah tanah yang selalu digenangi air. Maka dari itu masyarakat menamai wilayah ini dengan Ngrawan. Ngrawan artinya tempat yang berawa-rawa.
Bagi orang yang hidup di Dusun Ngrawan sebelum tahun 2004 tentu pernah tahu bagaimana wilayah Ngrawan ini dulunya menjadi langganan banjir setiap musim penghujan.  Banjir yang terjadi disebabkan oleh jebolnya tanggul sungai yang tidak mampu menampung volume dan kecepatan arus air yang mengalir dari pegunungan selatan kecamatan Kalidwair. Baru setelah ada program dari pemerintah untuk melebarkan sungai dan menembok tanggulnya dengan beton, Dusun Ngrawan telah terbebas dari banjir. Meskipun demikian, banjir yang dulu tiap tahunnya melewati dusun ini, membawa dampak baik tersendiri. Tanah yang dulunya “jombok” kini menjadi tanah tegalan sebab tertimbun dengan “walet” atau tanah dari pegunungan selatan yang dibawa oleh arus banjir tersebut. Dengan tanah tegalan ini, justru masyarakat bisa menanam apa saja, sehingga skil bertaninya bisa lebih  berkembang. Di samping itu, baik di musim kemarau maupun musim penghujan, lahan tanah yang ditumbuhi rumput tetap luas, sehingga berpotensi bagus untuk masyarakat petani yang memiliki ternak “raja kaya”.
Tentang kapan berdirinya wilayah ini, belum bisa diketahui secara pasti. Akan tetapi sejauh penelusuran yang ada setidaknya ada dua tokoh yang disebut sebagai yang “mbabad” dusun ini. Mereka adalah Kromodinolo dan Jotruno. Kedua tokoh tersebut hidup sezaman, dan bukan keluarga dekat. Kromodinolo bertempat tinggal di wilayah Dusun Ngrawan bagian barat, sedangkang Jotruno bertempat tinggal di Dusun Ngrawan bagian timur.  Kromodinolo konon adalah seorang bangsawan dan ksatria  pasukan Perang Diponegoro (1825-1830) yang melarikan diri. Karena tercatat sebagai incaran Belanda, akhirnya ia tidak bisa menetap lama di wilayah Tunggangri. Hidupnya berpindah-pindah hingga akhirnya meninggal dunia dan dimakamkan di wilayah Ngancar Kediri.
Meskipun hidup berpindah-pindah, bukan berarti keluarga Kromodinolo meninggalkan Dusun Ngrawan begitu saja. Ada beberapa anaknya yang menetap di dusun ini. Salah satu yang kelak menurunkan tokoh-tokoh besar di Kecamatan Kalidawir adalah Ponco Diwiryo. Ponco Diwiryo dan anak turunnya kelak menjadi Kepala Desa di Desa Tunggangri, mereka adalah. H. Muhammad Siradj, H. Mashud, dan Endang Zuliati.
Kemudian, di wilayah Ngrawan bagian timur ada anak turun Jotruno. Menurut salah satu keturunannya, Jotruno berasal dari wilayah barat (Ponorogo). Ia lebih tua daripada Kromodinolo. Berbeda dengan Kromodinolo yang menentang Belanda, justru Jotruno pada waktu itu memiliki jabatan di bawah naungan pemerintah Belanda. Makam tokoh ini berada di Pemakaman Umum Desa Tunggangri. Anak turunnya termasuk yang mendominasi wilayah Ngrawan.
Selain dua tokoh tersebut sebenarnya ada lagi tokoh lain yang datang belakangan namun memiliki kiprah dan pengaruh terhadap perkembangan Dusun Ngrawan dan Desa Tunggangri. Tokoh tersebut adalah Karyadi. Anak turun dari Karyadi ini kelak banyak yang terjun di bidang keagamaan, pendidikan, dan pemerintahan Desa Tunggangri.

NAMA NAMA KEPALA DESA TUNGGANGRI

No.

Nama

Tahun Pemerintahan

Alamat Asal

Alamat Makam

Ket.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Mbah Jenggot
Mbah Cekro
H. Abas
H. Sardi
Tonawi
Ponco Diwiryo
H. M. Sirodj
Ali Husein
Samsul Bakri
Kasiroh
Much. Burhanudin
Drs. H. Mashud
Dra. Endang Zuliati
Murlan
Sri Lailatin
Drs. H. Nahrowi, M.M (pj)
Sri Lailatin

1826 – 1847

1847 – 1854

1854 – 1866

1866 – 1888

1888 – 1909

1909 – 1947

1947 – 1970

1970 – 1973

1973 – 1978

1978 – 1986

1986 – 1994

1994 – 2007

2007 – 2009

2009 – 2010

2010 – 2016

2016 – 2018

2018 – 2023

Dsn. Krajan
Dsn. Krajan
Dsn. Ngrawan
Dsn. Krajan
Dsn. Krajan
Dsn. Ngrawan
Dsn. Ngrawan
Dsn. Krajan
Ds. Pakisaji
Dsn. Krajan
Dsn. Krajan
Dsn. Ngrawan
Dsn. Ngrawan
Dsn. Krajan
Dsn. Ngrawan-Dsn. Krajan
Ds. Domasan
Dsn. Ngrawan –Dsn. Krajan
Tunggangri
Tunggangri
Tunggangri
Tunggangri
Tunggangri
Tunggangri
Tunggangri
Plosokandang
Madiun
Tunggangri